Penyiksaan tenaga kerja (terutama perempuan) dari Indonesia (TKW) di luar negeri terus bermunculan dan berlanjut. Keberlangsungan kejadian ini dari tahun ke tahun membuat banyak orang beranggapan seperti tidak ada tindakan apapun dari pemerintah untuk membela warga negaranya. Pemerintah pasti berkilah karena peraturan perundang-undangan untuk melindungi tenaga kerja Indonesia telah lama dibuat. Tetapi demikianlah faktanya.
Kadang kita perlu merenungi “bagaimana mungkin orang yang tidak dapat membaca dan menulis dapat lolos sebagai TKW di luar negeri”? Mereka yang sering bepergian ke luar negeri terutama ke Malaysia, dan kebetulan bersamaan dengan berangkat atau pulangnya TKW, mungkin pernah dimintai tolong oleh TKW untuk mengisi blanko emigrasi di bandara. Para TKW atau calon TKW ternyata banyak yang tidak dapat membaca dan menulis. Mereka inilah yang dikemudian hari akan menjadi TKW ilegal. Mereka bekerja ke luar negeri tidak melalui Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), melainkan menggunakan visa kunjungan yang hanya berlaku satu bulan. Awalnya mereka menumpang di rumah teman atau Saudaranya yang telah lebih dahulu berstatus sebagai TKW. Setelah visanya habis maka mereka berstatus sebgai ?pendatang haram? di Malaysia. Memang bergerak ke mana pun di muka bumi merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia yang tidak boleh dihalang-halangi oleh siapa pun dengan alasan apa pun. Namun kejadian-kejadian yang menyebabkan mereka kemudian berstatus sebagai TKW ilegal ini yang harus dicegah, bahkan ditiadakan. Dengan meminjam ungkapan dari promosi untuk meningkatan pembayar pajak, ?jaman seperti ini masih ada TKW ilegal, apa kata dunia??
Orang kayakah TKI itu?
Sebagian besar orang yang pernah ke luar negeri, jika ditanya enak mana di Indonesia dibandingkan dengan di luar negeri? Terutama mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah pasti akan menjawab enak di Indonesia. Terus terang hidup di Indonesia ini sebenarnya ?uuuenak pool?. Kecuali satu hal, yaitu menanggalkan status ?miskin?. Lebih-lebih jika garis kemiskinannya dipatok dengan besarnya penghasilan kurang dari Rp. 200.000,- per kepala/bulan.
Nyaman di negeri sendiri, mengapa harus mencari kerja di negeri orang? Jawabannya sederhana ingin bertahan hidup dan keluar dari kemiskinan. Tetapi benarkah dengan bekerja di luar negeri mereka menjadi kaya? Sebuah ilustrasi dari beberapa kondisi tenaga kerja di Malaysia di bawah ini dapat menjadi alat untuk mengevaluasi.
Mengapa banyak orang yang mencari pekerjaan di Malaysia? dari beberapa TKI di Malaysia menyatakan bahwa bekerja di Malaysia itu lebih mudah di sebabkan budaya dan bahasa sedikit sama dengan Indonesia, kedua, gaji yang relatif tinggi jika dikurskan dengan rupiah (1 ringgit = 3.300 rupiah), ketiga sarana transportasi dari Indonesia-Malaysia dan sebaliknya mudah dijangkau dan relatif murah baik itu melalui jalan udara maupun laut. Yani (29 Tahun) salah satu TKW asal Malang Jawa Timur yang bekerja sebagai penjaga toko pakaian di pasar Melaka, menyatakan bahwa ?bekerja di Malaysia itu gajinya sangat menyenangkan lho..Saya digaji 30 ringgit sehari jadi kalau sebulan saya digaji 900 ringgit atau setara 3 juta rupiah. Mana ada penjaga toko di Indonesia yang digaji segitu besar?. Tapi kerjanya juga berat harus mulai kerja dari jam 10 pagi hingga 7 petang. Devi (21 Tahun) asal Padang yang bekerja di Rumah Makan di Kajang Selangor juga menyatakan hal sama, bahwa kerja disini menyenangkan karena gajinya tinggi, di gaji sehari 25 ringgit tapi harus kerja dari pagi hingga malam. Sedangkan Dewi (23 tahun) dari Purbalingga Jawa Tengah bekerja juga sebagai pelayan restoran di Kajang Selangor digaji 20 ringgit sehari dan harus bekerja dari pagi hingga malam. Namun untuk Dewi oleh pemilik restoran telah disediakan tempat tinggal disebuah flat yang dekat dengan restoran, pembayaran flat disubsidi ?-nya ole pemilik restoran, 3/4 nya dibayar secara kongsi dengan teman-temannya. Berbeda dengan Yani, Devi, dan Dewi, Pak Muljadi asal Lamongan yang bekerja di bengkel las digaji tiap bulan bersih 700 ringgit. Tapi kalau ada lemburan maka juga akan mendapat tambahan sehingga satu bulan bisa mencapai 900 ringgit. Sedangkan untuk penyapu di Universitas Kebangsaan Malaysia, Cleaning Service, Mbak Um dan Mbak Yuli dari Jawa Timur digai 600 RM. Gaji terendah diduduki oleh pembantu Rumah Tangga yakni 400 RM. Makan seharusnya ditanggung pemilik rumah, tetapi tentunya tidak semua majikan berbaik hati mau memberi makanan yang layak. PRT yang bekerja pada orang etnis Cina, sering tidak dapat makan karena mengandung babi pada masakannya. Inilah yang akhirnya membuat PRT akhirnya lari.
Jadi dengan gambaran besaran gaji spintas di atas, tidaklah heran jika banyak orang-orang yang lebih memilih bekerja di Malaysia, karena Indonesia belum dapat menyediakan lapangan pekerjaan yang mampu memperbaikan kehidupan mereka. Meskipun mereka sangat senang karena gaji yang lumayan tinggi, secara umum mereka menyatakan bahwa kalau kehidupan di Malaysia sebenarnya tidaklah menyenangkan. Jika kita tidak dapat menghemat uang hasil kerja kita, maka ya uang ya cepat habis dan tidak bisa mengirim uang ke rumah. Demikian kata Pak Mul. Bayangkan biaya hidup di Malaysia sangatlah tinggi. Untuk sewa rumah kontrakan atau flat, para TKI harus mengeluarkan uang 400 ringgit sampai 500 ringgit untuk sebulan. Sedangkan untuk biaya makan sehari-hari harus mengeluaran antara 8-15 ringgit sehari. Biaya transportasi mencapai 50 RM sebulan. Biasanya para TKI bergabung untuk menyewa rumah atau mengontrak flat yang bisa dihuni oleh 5-6 orang (tergantung besar rumah/flat). Dengan bergabung seperti ini biaya kontrakan bisa ditekan sehingga satu orang hanya akan mengeluarkan 75-100 ringgit sebulan. Belum lagi biaya air, listrik dan depositnya. Deposit di sini maksudnya uang jaminan yang diberikan kepada pemilik rumah terhadap keutuhan kondisi rumah tersebut umumnya total deposit untuk rumah,air dan listrik mencapai 1000 RM (Sekali bayar ketika masuk). Harga bahan-bahan makanan pun relative mahal. Sepotong tempe seharga 1 RM = Rp 3000, 1 potong tahu 30 sen = Rp 1000, membeli sayur pun mesti satu-satu dan ditimbang, sehingga antara membeli makanan matang dan memasak sendiri terutama ikan dan daging, lebih murah membeli matang. Itulah gambaran tingginya biaya hidup yang sebenarnya antara gaji mereka dan biaya hidup di Malaysia relative impas.
Jadi, sebenarnya ada kontradiksi antara pandangan mengenai kesuksesan hidup TKI dan kenyataan hidup mereka di sini. Keluarganya di Indonesia menganggap mereka hidup makmur dan menunggu kiriman uang. Padahal kehidupan mereka sendiri di sini sangatlah jauh dari kelayakan (baik dari segi tempat tinggal maupun sosial). Mereka bekerja dari pagi sampai malam, pulang hanya untuk tidur, subuh sudah berangkat lagi, tidak sempat melakukan hubungan sosial dengan keluarga dan lingkungan. Parahnya, tidak ada hak cuti bagi mereka. Hari Sabtu dan Minggu tetap masuk kerja. Jadi mereka jika ?meliburkan diri? sehari dan itupun potong gaji. (Kecuali penyapu di UKM, mereka bekerja dengan 5-6 hari kerja).
Jika ditanya kepada mereka, mana yang lebih nyaman antara hidup di Indoneia dan Malaysia, mereka pasti akan menjawab lebih nyaman di Indonesia, hanya alasan pekerjaan saja yang membuat mereka betah bertahan di Malaysia. Itupun dalam benak mereka terdapat beban mental bahwa mereka mesti berkirim uang atau ketika pulang mesti membawa uang banyak, sehingga motiv hidup mereka di sini adalah bagaimana mencari uang agar dapat sangu untuk pulang. Keberhasilan (berkumpulya uang) baru dapat dirasakan TKI setelah bekerja setidaknya 5 tahun, di bawah itu, mereka masih bergulat degan susahnya kehidupan, dan menyisihkan sedikit-sedikit untuk kehidupan mereka dan tabungannya.
Sebagai bahan perbandingan, standard minimal hidup layak di Malaysia untuk bujang (mereka yang tinggal sendiri tanpa keluarga) adalah 1000 RM, sedangkan gaji TKI maksimal 900 RM. Adapun pemerintah Indonesia, melalui program beasiswa Dikti, menetapkan biaya hidup bagi pelajar di Malaysia seorang ialah 1500 RM (bersih, di luar SPP, Biaya buku, dll). Dan angka 1500 RM adalah biaya hidup yang standard dan layak bagi pendatang. Sedangkan untuk peduduk Malaysia sendiri adalah 3000-4000 RM. Untuk ukuran penduduk angka 3000-4000 RM masih ukuran kehidupan normal. Jadi, dengan perbadingan tersebut, sebenarnya gai TKI yang dianggap besarpun, masih jauh posisinya dari nilai kehidupan layak di Malaysia.
Bangsa Malaskah Kita?
Orang Malaysia sebenarnya banyak yang senang dengan hasil kerja orang-orang Indonesia dibandingkan dengan pekerja asal Bangladesh. TKI di Malaysia memang menempati urutan pertama disusul Bangladesh yang juga banyak mengadu nasib di Malaysia. Tuan Hanif (orang Malaysia 35 Tahun) yang mempunyai pembantu rumah tangga asal Indonesia, menyatakan bahwa orang Indonesia itu rajin dan cekatan. Sedangkan Encik Adnan (pegawai polis 48 tahun) menyatakan bahwa pekerja-pekerja Indonesia yang dibangunan itu juga sangat bagus. Hasil bangunannya pun sangat memuaskan dibandingkan kalau yang mengerjakan pekerja-pekerja asal Bangladesh. Menurut Encik Adnan ada yang membedakan tipikal pekerja asal Indonesia dan Bangladesh yaitu kalau pekerja asal Indonesia itu orang pemberani, cekatan dan hasilnya rapi. Bekerja sebagai apapun pekerja asal Indoneisa itu mau. Ini berbeda dengan pekerja asal Bangladesh yang mau mereka itu bekerja asal ada seragamnya seperti layaknya orang kantoran, meskipun harus bekerja sebagai pembersih jalan asal berseragam mereka mau. Dan pekerja asal Bangladesh kebanyakan memilih-memilih pekerjaan, sehingga banyak yang datang kesini akhirnya tidak bekerja. Encik Adnan juga menambahkan bahwa pekerja-pekerja yang dari Malaysia sendiri tidak seberani pekerja asal Indonesia dan mereka tidak mau kerja-kerja kasaran meskipun lapangan pekerjaan seperti di perkebunan sangat membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Sehingga kalau ada pemasangan benda-benda bangunan yang tinggi-tinggi, orang Indonesialah yang maju pertama kali. Sedangkan Encik Nizam (pelajar asal Malaysia 36 Tahun) sempat melotarkan bahwa bangunan di Malaysia ini meskipun milik Malaysia tapi buatan Indonesia lho?
Rasanya kita keliru dan gagal menghargai potrensi bangsa kita sendiri.
Diskriminasi
Kebanyakan TKI yang ada di Malaysia menyatakan tujuan utama mereka ke Malaysia adalah hanya untuk mencari uang semata. Secara kehidupan sosial tetaplah menyenangkan hidup di kampung halaman di Indonesia. Kehidupan sosial di Malaysia tidaklah begitu menyenangkan. Mereka (orang Malaysia) sangat mendiskriminasikan orang-orang dari luar Negara (seperti Indonesia). Misalnya teller di salah satu Bank, tidak memberikan pelayan yang baik jika tahu yang dilayani adalah orang Indonesia. Mereka juga menganggap orang Indonesia yang ke Malaysia adalah sama seperti bibi-bibi (sebutan pembantu asal Indonesia di Malaysia ).
Karena memang ada perbedaan yang sangat mencolok antara Indonesia dan Malaysia yang tidak dipahami oleh kebanyakan orang, yaitu pertama sistem hukum yang berbeda, kedua, budaya orang Malaysia meskipun serumpun dengan Indonesia yaitu rumpun melayu, namun karena Malaysia bekas koloni Inggris menyebabkan cara berpikirpun berbeda, seperti sifat individualitik yang sedikit menonjol meskipun masih mempunyai sifat sosialis. Selain itu bahasa yang juga agak berbeda misalnya kata seronok kalau di Malaysia artinya gembira, gampang arti Malaysianya anak haram, punggung arti Malaysianya pantat, kelamin berarti pasangan hidup, dll.
Mennyiasati Filter
Menurut Dr. Rohani Abdul Rahim dosen Fakultas Hukum UKM yang suaminya juga atase pendidikan Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia, menyatakan bahwa sebelum para TKI itu masuk ke Indonesia, mereka harus mendapatkan sijil (sertifikat) kecakapan untuk lulus dalam bidang Sistem Hukum Malaysia, Budaya dan Bahasa Malaysia serta Kesehatan. Selain itu mereka juga harus dilatih beberapa ketrampilan. Tapi kita juga tidak tahu mengapa TKI yang ada di Malaysia masih ada yang tidak tahu sistem hukum, bahasa dan budayanya. Bahkan ada TKI yang kesehatannya tidak layak namun bisa tetap masuk ke Malaysia. Kondisi ini disebabkan adanya permainan antara agen TKI di Indonesia dan di Malaysia yang mengeluarkan sertifikat kecakapan asli tapi dapat dibeli sebesar RM 500 dan hal ini masih susah dibuktikan baik oleh Malaysia dan Indonesia.
Kemiskinan dan Kebodohan
Sejarah memberi tahu kepada kita bahwa orang miskin dan orang bodoh selamanya menjadi korban eksploitasi manusia oleh manusia. Selain itu mereka juga menjadi korban kebijakan pemerintah. Orang-orang yang tereksploitasikan biasanya hilang martabatnya. Demi untuk mempertahankan hidup dan hidup yang lebih layak TKI rela mengorbankan kehormatan sebagai bangsa yang beradab. Tragis. Sangat tragis. Negeri yang kaya raya ini belum mampu mewujudkan cita-cita bangsanya meskipun sudah tersurat dalam Undang-undang Dasar dan undang-undang. Namun telah berhasil memasukkan beberapa orang kedalam dalam orang terkaya di dunia. Negeri yang jauh lebih luas ini rela melepas anak-anak bangsanya mencari makan di negeri yang lebih kecil. Sebagian diantaranya dengan cara-cara ilegal. Cara ini mereka tempuh bukan karena mereka bermental kriminal. Tetapi karena mereka tidak tahu dan tidak berdaya. Akhirnya sebagian diantaranya menjadi korban eksploitasi dan kekerasan.
Indikator Kesejahteraan Sosial
Indonesia belum mempunyai indikator kesejahteraan sosial resmi yang terintegrasikan dalam satu ketetapan undang-undang. Standar kesejahteraan sosial minimal tentunya tidak sama dengan kebutuhan hidup minimal, upah minimal, ataupun Indeks Pembangunan Manusia termasuk didalamnya harapan hidup. Visi atau misi mungkin sudah terumuskan. Sehingga presiden, bupati/walikota, lebih-lebih legislatif tidak memiliki beban konstitutif yang lebih kuantitatif. Kebanyakan hal-hal yang sudah dikuantifikasikan adalah hal-hal yang bersifat minimal. Kapan kata minimal ini akan dibuang?
Sebagai contoh, kita ambil untuk yang terkait dengan TKI. Perlu dikembangkan indikator sebagai berikut ?dalam lima tahun ke depan semua daerah di Indonesia harus sudah bebas dari pengiriman TKI tidak lulus Sekolah Lanjutan Pertama, kondisi badan tidak sehat, tidak memiliki ketrampilan, tidak memiliki pengetahuan hukum dan bahasa negara tujuan serta dengan cara-cara ilegal. Dengan adanya ketetapan ini maka menjadi tanggung jawab pemerintah kabupten/kota yang bersangkutan jika terdapat penyimpangan atau kasus tentang TKI/W.
Catatan :
Penulis adalah Sekum BKKKS Prop. Jatim.
Istilah TKI dan TKW digunakan secara bersama-sama sesuai konteksnya.
Nama-nama responden bukan nama yang sebenarnya.
sumber foto : tripujiastuti.files.wordpress.com / 2008/02/tki.jpg