Tinggal di daerah semacam itu tidak membuat lelaki tua dan istrinya risih. Lelaki tua dan istrinya pandai mengambil hati penduduk di mana mereka tinggal. Sering kulihat lelaki itu sambil tertawa kecil terlibat percakapan di luar pagar rumahnya dan menepuk bahu lawan bicaranya. Entah apa yang diucapkannya, tapi anak muda dengan mata tanpa pikiran, kini bergerak seakan hidupnya penuh dengan harapan. Ia lebih cepat dan gesit dari biasanya. Matanya tetap bodoh seperti mata sapi. Gerakannya seakan pekerja yang sedang mengangkut balok kayu ke atas bahunya. Berlarian kesana-kemari tak tentu arah.
Lelaki tua itu sering memarkir mobilnya yang besar di tanah kosong depan bangunannya, di bawah teduh pohon nangka yang buah-buahnya berjuntaian seakan hendak menimpa mobil. Anak-anak mendekat kepada lelaki tua. Ibu-ibu mendekat kepada perempuan lelaki tua yang turun dengan menjinjitkan kakinya, agar gaunnya tak menyentuh tanah. Seorang ibu mengeluh. Ia menunjuk-nunjuk ke arah anaknya yang tubuhnya penuh dengan kudis dan anak itu sesekali mengisap ingusnya. Ditepuknya ibu itu dengan tepukan sayang yang pelan. Ibu itu mengangguk senang lalu tergelak. Perempuan itu tertawa dan sang lelaki tua bahagia di tengah anak-anak. Ia keluarkan dompetnya dan anak-anak berbebutan mengambil lembaran-lembaran dari tangan sang lelaki tua. Demikianlah berulang-ulang, sang lelaki tua itu membagi-bagikan kebahagiaan kepada orang-orang banyak. Lelaki dengan palang di wajahnya beranjak dari tempat duduknya mendatangi lelaki tua. Entah apa yang dibisikkannya, tapi lelaki tua nampak menarik mukanya dengan roman terkejut. Seolah tersentak dari pikiran yang ingin dilupakannya. Sejenak kemudian lelaki palang kembali lagi ke tempat duduknya ditepian arus sungai. Kawannya memandangnya. Lelaki itu mengucapkan kata-kata. Lalu permainan kartu dimulai kembali.
Anak muda penangkap ikan itu termenung sendiri sambil membagi-bagi kartu. Untuk pertama kalinya kocokannya terjatuh dan untuk pertama kalinya lemparan kartunya meleset dari tempat di mana ia selalu meletakkan kartu tepat dihadapan lawan mainnya.
Kuarahkan teropongku dan mataku tenggelam ke balik lensa. Perempuan muda itu berjalan melingkar di dalam kamar. Aku mengarahkan teropongku menjelajahi kamar. Tak ada lelakinya. Hanya perempuan itu saja dengan tubuh bertelanjang dada. Kedua putiknya menjulang dan kulihat bayangan bayi mengulum putik yang kanan, seperti kulihat seorang lelaki mengulum putiknya yang kiri. Kuusir bayangan itu karena kini perempuan itu memelintir putiknya sendiri dengan kedua ujung jari.
Kemanakah lelakimu, wahai perempuan yang memelintir putikmu sendiri. Aku memutar teropongku menjelajahi seluruh ruangan besar itu. Aku bergerak ke kamarku yang lain, ingin melihat kamar lain dari rumah itu. Aku ingin menemukan lelaki tua dan melihat apa yang sedang dikerjakannya. Pasti ada yang sedang dikerjakannya. Ataukah dia tertidur sementara perempuannya berputar dengan putik di jari-jarinya.
Dari balik teropongku aku melihat benda-benda yang nampak di mataku. Lewat tirai yang setengah terbuka aku melihat patung-patung manusia. Sebuah patung menarik hatiku karena kukira patung itu mirip sekali dengan lelaki tua yang hendak kucari. Patung itu melingkar di dekat pintu terusan ke kamar sang perempuan. Pintu kamar itu setengah terbuka dan lelaki itu agak di balik pintu, sehingga aku tidak bisa melihat kakinya. Tapi jelas sekali tubuh atasnya serupa dengan tubuh sang lelaki tua. Patung itu diam tidak bergerak, terbaring di samping patung manusia ular di sebelah lelaki tua. Aku kagum dengan patung manusia ular itu.. Kuputar gerigi teropongku dan manusia itu serupa benar dengan ular yang hitam yang legam. Sisik-sisiknya terasa di dalam jiwaku dan matanya yang hitam serta lidahnya yang merah seolah menyambar ke depan mukaku.
Sejenak aku menarik mukaku dari lensa teropong. Dadaku agak berdebar karena aku sangat takut dengan ular. Patung ular yang cantik, kataku sambil membayangkan sang pematung. Begitu tekun kamu bekerja sehingga patungmu hidup dan kini hendak mematukku. Tubuhnya membentuk lengkungan ular dari pinggang perempuan. Kakinya menyatukan kaki manusia ke tubuh bawah ular. Wajahnya sepenuhnya wajah perempuan ular. Jiwaku masuk ke dalam perempuan ular, saat aku menyadari ada sebuah gerakan perlahan-lahan dari bawah patung, membuat patung perempuan ular bergetar. Aku nyaris melepaskan teropongku ketika lensa teropongku mencari sumber yang membuat patung ular bergetar. Di sana, patung yang kusangka sang lelaki tua itu ternyata bergerak, dalam gerakan terakhirnya membentuk wajah ular dari wajah sang lelaki tua.
Aku masih melihat gerakan terakhir perubahan bentuk itu. Sebuah erangan yang begitu memilukan saat seorang manusia berubah menjadi ular. Lidah lelaki tua itu menjulur dari mulut yang menahan sakit yang luar biasa, lalu lidah lelaki tua bercabang membentuk lidah ular. Itulah perubahan terakhir bersama matanya mengecil menjadi mata ular.
Kini lelaki tua itu sudah menjadi sepenuhnya ular. Manusia ular itu merambat naik, membelit dengan tubuh sebesar manusia yang sisik-sisiknya hitam yang licin. Naik terus sampai muka ular itu berhadapan dengan muka patung ular perempuan. Aku menahan napasku. Apakah yang akan dilakukan manusia ular itu kepada patung perempuan ular.
Sebuah dorongan di pintu membuat pintu terusan itu terbuka. Kini perempuan lelaki tua yang telah berubah menjadi ular itu masuk dengan tubuh tanpa busana. Alangkah indah tubuhnya. Kulitnya kuning dan buah dadanya bertangkup serasi sekali dengan bentuk tubuhnya yang lain. Pantat yang jadi muara kedua kakinya amat indah bentuknya. Perutnya seolah tembaga. Matanya kini menyorot sayu penuh napsu. Perempuan itu berjalan ke arah ranjang di tengah ruangan, berbaring dan mengerang.
Ular itu turun dengan cepat dari patung, merayap melalui ranjang besi dan mulai menjilat-jilat perempuan itu mulai dari ujung-ujung kakinya. Pada saat itulah kudengar orang-orang yang sama berteriak dengan nada berbeda. Dari balik teropongku kulihat banyak gerakan di seputar rumah itu. Gerakan-gerakan di sebelah kiri rumah dan langkah-langkah kaki di depan rumah, dari orang-orang yang kini berlari-lari seolah ingin menyelamatkan hidup mereka sendiri. Sang pembagi kartu kulihat menunjuk-nunjuk dan telunjuknya kini berbalik ke arah rumah lelaki ular. Kudengar ia berkata mengatasi kegaduhan. Manusia ular, kebaikannya hanya seperti ular yang melingkar dan membeliti jalan-jalan yang kita lalui selama ini. Apakah kita hendak berdiam diri dengan sisik-sisiknya yang meracuni hati. Apakah kita akan berdiam diri. Ini bukan soal pribadiku atau pribadi kamu dengan manusia yang berhati ular. Tapi soal kita dan mereka yang telah menjadi ular. Janganlah kita tertipu dengan sebaran racunnya di jalan-jalan hidup kita.
Kata-kata yang fasih itu kudengar diteriakkan dengan keras dan orang-orang itu mendekat menjadi kerumunan mengepung rumah. Teropongku bergerak ke arah kamar di mana kulihat sang ular kini bergerak dengan liar di atas tubuh perempuan, yang sama liarnya menggerak-gerakkan pantatnya, dan pantat itu kadang-kadang melonjakkan dirinya ke atas sehingga tubuh ular itu seolah membentuk sebuah gelung, mengikuti tubuh dengan pinggang yang mengangkat perut dan kedua tangan yang meremas tepian besi. Mereka tidak tahu ada ular yang lain lagi. Ular-ular yang telah lama lapar dan kini siap untuk menerkam sesama ular.
Perempuan itu telah di puncak nafsunya, ketika bunyi gaduh pecahan kaca terdengar memecah keheningan kamar. Sampai juga ke kamarku segenap bunyi itu. Kuarahkan teropongku dan kulihat orang-orang itu mulai melemparkan batu. Dinding dan kaca rumah itu menjadi sasaran batu yang melayang, meninggalkan bunyi yang seolah marahnya sebuah hati. Lalu kudengar seseorang meneriakkan kata bakar sambil menyulut kain yang menjuntai dari tepian botol. Isi botol menetes-netes seolah tetesan air liur binatang liar.
Tak terkendali lagi. Dari balik teropongku perempuan itu meloncat dan kebingungan mencari pakaian, lalu berlari ke kamar dari pintu terusan kamar. Masuk lagi sambil tergopoh-gopoh memakai pakaiannya. Celana jinnya dipakai terbalik dan kulihat dalam cahaya terakhir lampu yang dipadamkan, sebuah perubahan bentuk dari ular yang menjadi manusia. Sisik-sisik itu tiba menyusut lalu tubuh ular lenyap berganti menjadi tubuh manusia. Kembali aku nyaris melepaskan teropongku saat kepala ular menghilang menjadi kepala manusia. Erangan panjang bersama batu-batu itu membuat apa yang kulihat nampak begitu memilukan. Apakah yang ada dalam pikiran ular itu dan apakah yang ada dalam pikiran kepala lelaki itu, dalam hitungan detik yang sangat menentukan itu. Kini lelaki itu telah utuh menjadi dirinya sendiri. Seorang lelaki tua yang piawai mengendalikan massa tapi kini nampak tak berdaya. Dengan gemetar dipeluknya wanitanya. Mereka meringkuk berpelukan di sudut kamar.
Lalu dengan gugup sang lelaki tua berlari ke arah lemari di dekat pintu masuk dan mengambil pistol. Pistol itu hampir terjatuh saat tangannya yang gemetar memasukkan peluru-peluru ke dalam lubang-lubang di tubuh pistol. Ia genggam pistol itu dan berlari mendekati pintu kaca yang telah menjadi lubang menganga. Tangannya menjulur keluar dan terdengar ledakan pistol.
Ledakan itu seolah menjadi tanda bagi ular-ular itu bergerak dengan serentak dan apa saja di tangan mereka atau yang bisa mereka jangkau, mereka lemparkan ke arah rumah besar. Lima orang masuk ke dalam kamar, dan tanpa berbicara sang pembagi kartu memukul kepala lelaki tua. Manusia ikan mendekati perempuan yang nyaris pingsan dengan mata terbelalak seperti mata kelinci, meringkuk dan terkencing di celananya sendiri. Ia renggut perempuan itu dan ia memasukkan kelaminnya ke dalam kelamin korbannya dalam hentakan buas hewan yang terluka.
Nyaris pukul dua, rumah itu sempurna menjadi sebuah pakaian yang compang-camping, teronggok di dekat tepian anak sungai. Tak ada lagi yang tersisa dari bangunan itu kecuali abu, rangka besi dan beton, serta asap yang seolah malas, bergulir pelan-pelan di bekas-bekas tonggak-rumah.