Prakata : Pernyataan pihak Lapindo Brantas Inc dan pemerintah bahwa perkara hukum Lapindo terkait semburan Lumpur sudah selesai adalah pernyataan yang menyesatkan. Terlebih lagi, pernyataan yang menganggap seolah-olah Lapindo tidak bersalah dalam hal semburan Lumpur
*SIARAN PERS*
*Nomor 008/SP/YLBHI/ V/2008*
*DUA TAHUN SEMBURAN LUMPUR LAPINDO*
“MENANTI NURANI PENGADILAN”
Pernyataan pihak Lapindo Brantas Inc dan pemerintah bahwa perkara hukum Lapindo terkait semburan Lumpur sudah selesai adalah pernyataan yang menyesatkan* . Terlebih lagi, pernyataan yang menganggap seolah-olah Lapindo tidak bersalah dalam hal semburan Lumpur yang menenggelamkan sejumlah desa di Sidoarjo adalah anggapan yang salah. Dua tahun semburan Lumpur itu terjadi. Dan sampai hari ini penyelesaian yang dilakukan oleh Pemerintah, Lapindo, dan pihak terkait lainnya, masih jauh dari keadilan untuk para korban.
*Fakta di pengadilan menunjukkan dari aspek kesalahan, terbukti bahwa semburan Lumpur terjadi karena kesalahan Lapindo**.* Terdapat fakta bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat jelas-jelas menyatakan bahwa luapan lumpur karena kekurang hati-hatian pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo (turut tergugat) karena belum terpasang *cassing*/pelindung secara keseluruhan sehingga terjadi *kick* kemudian terjadi luapan lumpur, dan mengakibatkan korban kehilangan rumah berikut perabot, sawah, pekerjaan, rasa bau, sakit perut, stress, ketakutan dan kekerasan.
Dengan demikian, karena semburan Lumpur itu disebabkan oleh kesalahan Lapindo, sangat tidak berdasar sekali pernyataan Menko Kesra Aburizal Bakrie, yang juga pemilik Lapindo Brantas, bahwa ganti rugi korban merupakan kemurahan hati pihak Lapindo. Yang betul adalah, *ganti rugi merupakan konsekuensi dari kewajiban Lapindo yang telah salah mengakibatkan terjadinya semburan lumpur yang menenggelamkan desa*. Di titik inilah faktor keadilan menjadi sangat penting. Sebab, di saat ribuan warga desa sekitar Lapindo terlunta-lunta nasibnya, Ical justru dinobatkan oleh majalah *Globe Asia *sebagai orang terkaya se-Asia Tenggara dengan total kekayaan sebesar US$ 9,2 miliar atau setara Rp 84,6 triliun.
*Langkah pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 menunjukkan pemerintah tidak berada dalam posisi melindungi warga negara yang menjadi korban semburan Lumpur untuk memberikan pemulihan yang komprehensif bagi korban. *Perpres itu jelas mengabaikan hak-hak korban di luar peta terdampak dan memicu beragam persoalan. Perpres itu merupakan cermin ketidaktegasan, keragu-raguan, dan ketidakberpihakan pemerintah kepada korban. Alhasil, pemerintah hanya mencari jalan kompromi dengan pemodal dan mengabaikan pertanggungjawaban hukum.
*Keadilan bagi korban harus menjadi muara penyelesaian persoalan semburan Lumpur Lapindo. *Pemulihan hak-hak korban harus menjadi tujuan utama, ketimbang melakukan kompromi dan mencari jalan penyelesaian masalah yang meminggirkan korban. Harus ada skema baru pemulihan dan reparasi hak-hak korban di luar skema yang telah ada saat ini. Misalnya dengan pembentukan *Badan Reparasi Nasional* untuk memulihkan hak-hak korban sekaligus menjamin hak asasi manusia para korban lumpur.
*Dari aspek hukum, perlu dilakukan terus penyelidikan tindak pidana bagi mereka yang terlibat kejahatan terkait semburan Lumpur Lapindo. Hakim di pengadilan yang menangani perkara gugatan Lumpur Lapindo harus memeriksa dan memutus perkara dengan berlandaskan pada hati nurani* yang sesungguh-sungguhny a dan tidak dikotori oleh pertimbangan-pertimbangan sempit yang menyebabkan kerugian besar di pihak korban.
Jakarta, 29 Mei 2008
*Yayasan LBH Indonesia*
(sumber: http://www.ylbhi. or.id/index. php?cx=3& cy=1&op=68, fotografi : koleksi)