Mereka tersisih dari lingkungannya. Sebagian ada yang memanfaatkan kondisi fisiknya untuk mendapatkan belas kasihan dengan turun kejalan. Sebagian lagi dengan terpaksa tinggal di panti sosial menunggu santunan. Tapi ada juga yang berusaha untuk hidup mandiri. Mereka adalah penderita dan eks penderita kusta. Potret kehidupan mereka bisa dilihat di Dusun Nganget, Kecamatan Sanggahan, Kabupaten Tuban.
MELONGOK PEMUKIMAN KUSTA
ANTARA LAMPU MERAH DAN ILLEGAL LOGING
Mereka tersisih dari lingkungannya. Sebagian ada yang memanfaatkan kondisi fisiknya untuk mendapatkan belas kasihan dengan turun kejalan. Sebagian lagi dengan terpaksa tinggal di panti sosial menunggu santunan. Tapi ada juga yang berusaha untuk hidup mandiri. Mereka adalah penderita dan eks penderita kusta. Potret kehidupan mereka bisa dilihat di Dusun Nganget, Kecamatan Sanggahan, Kabupaten Tuban.
Sesuai dengan namanya, Dusun Nganget dialiri air hangat yang mengandung belerang. Itulah sebabnya Pemerintah Kolonial Belanda memilih Dusun Nganget sebagai tempat penampungan penderita kusta yang dimulai sejak 1935. Sejak itu Dusun Nganget menjadi perkampungan leproseri (kusta atau lepra). Sementara penduduk asli dusun tersebut akhirnya pindah setelah mendapat ganti rugi. Penduduk asli Dusun Nganget banyak yang tinggal dan menetap disekitar Desa Kedung Jambe.
Dalam perkembangan selanjutnya tepatnya 1947 didirikanlah Rumah Sakit Kusta di dusun ini. Para penderita kusta waktu itu dibawah penanganan langsung dokter dari Jakarta. Baru pada 1969 rumah sakit diserahkan ke Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Dan rumah sakit ini dihuni 221 penderita kusta. Jumlah pasien tersebut bertahan hingga 1985. Pada perjalanan selanjutnya, rumah sakit tersebut diserahkan pada Dinas Sosial Propinsi Jatim. Dengan demikian fungsi rumah sakit berubah menjadi Panti Rehabilitasi Sosial eks penderita kusta.
Dari hasil penanganan rumah sakit kusta tersebut, sebagian diantaranya telah dinyatakan sembuh. Kendati demikian, kondisi fisik mereka telah menjadi penghambat untuk bisa kembali ke masyarakat. Sehingga mereka juga tidak memungkinkan untuk kembali ke daerah asalnya. Akhirnya, pada 1985 dibuatlah 55 unit rumah di sekitar rumah sakit untuk menampung mereka yang telah dinyatakan sembuh. Inilah awal adanya pemukiman eks kusta.
Penghuni pemukiman inipun ternyata terus berkembang. Mereka tidak hanya mantan pasien rumah sakit kusta tapi juga dari penderita kusta yang telah dikucilkan oleh lingkungannya. Hingga sekarang penghuni pemukiman eks kusta ini telah mencapai 464 jiwa. Dari jumlah tersebut, 312 jiwa diantaranya adalah bukan eks kusta. Mereka adalah keturunan eks kusta ataupun warga lain yang menikah dengan eks kusta.
Para eks penderita kusta ini tinggal diatas lahan seluas 105.695 m2 milik Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur. Dan sebagian lagi tinggal di lahan milik Perhutani. Lahan dan hunian tersebut berada di wilayah Desa Mulyorejo dan Desa Kedung Jambe. Namun status kependudukan mereka masuk dalam Dusun Nganget Desa Kedung Jambe-Kecamatan Singgahan.
Pola kehidupan
Tidak sulit untuk menemukan pemukiman eks penderita kusta. Walaupun pemukiman ini berada ditengah hutan dan jarak dengan desa terdekat (Desa Kedung Jambe) sekitar 3 km. Cukup menyebut ?rumah sakit kusta?, maka penduduk Desa Kedung Jambe akan segera menunjukan arah ke Dusun Nganget. Karena memang dusun yang identik dengan penderita kusta ini berada di belakang Panti Rehabiliasi Sosial (PRS) yang dulunya berfungsi sebagai rumah sakit kusta.
Sepintas kondisi Dusun Nganget tak ubahnya dengan dusun ataupun desa lainnya. Bahkan jarak rumah satu dengan yang lainnya cukup rapat untuk ukuran desa ditengah hutan. Begitu pula dengan kegiatan yang dilakukan warga dusun ini untuk menopang penghidupannya. Sehari-hari, mereka bercocok tanam, beternak dan sebagai pengrajin kayu. Bedanya, didusun ini banyak dijumpai warga yang cacat fisik terutama pada jari tangan dan kaki.
Kondisi fisik itulah yang membuat mereka menjaga jarak dengan komunitas luar. Karena mereka juga sadar adanya stigma masyarakat pada penderita kusta. Walaupun sebetulnya mereka juga sudah dinyatakan sembuh. Itulah sebabnya, mereka juga tidak akan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan tamu. Bahkan makanan yang disajikanpun selalu yang ada bungkusnya seperti permen, kacang atau minuman dalam botol.
Tapi tidak demikian bagi penduduk Desa Kedung Jambe yang telah bertahun-tahun berinteraksi dengan eks penderita kusta. Penduduk Desa Kedung Jambe bisa bergaul tanpa canggung dengan eks penderita kusta. Setiap hari pasaran misalnya, di Pasar Kedung Jambe banyak dijumpai eks penderita kusta. Mereka menjajakan ternak dan hasil pertaniannya. Bahkan ada diantara warga Desa Kedung Jambe yang telah menikah dengan warga Dusun Nganget.
Seperti tidak mau menyia-nyiakan potensi yang ada disekelilingnya untuk menopang kehidupan. Para eks penderita kusta juga memanfaatkan kayu hutan menjadi komuditas yang bernilai tinggi dipasaran. Mereka menerima pesanan meubeler, kayu ukir hingga kusen pintu rumah. Jaringan usaha dibidang ini sudah sampai Jakarta, Surabaya, Malang dan beberapa daerah di Jawa Timur.
Dari bidang kerajinan kayu ini pula, telah berhasil mengangkat tarap hidup eks penderita kusta. Di lingkungannya, para pengrajin kayu ini menjadi tokoh yang cukup berpengaruh setelah pegawai PRS dan tokoh agama. Para pengrajin kayu atau disebut juga dengan pengusaha meubel ini dari segi ekonomi memang lebih menonjol dibanding warga pemukiman eks kusta lainnya. Bahkan mereka bisa mendatangkan orang dari luar komunitas eks kusta untuk menjadi pekerjanya.
Namun seiring dengan gencarnya operasi illegal loging, para pengusaha meubel ini merasa kesulitan untuk mendapatkan bahan baku. ?Ya bagaimana lagi, cari kayu sekarang sulit. Sudah begitu menjualnya juga sulit. Tapi inilah satu-satunya mata pencarian kita. Kalau usaha seperti ini tidak boleh, apa kita harus turun ke lampu merah lagi untuk ngemis!?, unkap salah satu pengusaha meubel yang juga tokoh warga Dusun Nganget.
Dilema memang, disaat mereka mulai bisa meningkatkan kesejahteraannya secara mandiri. Kini sumber pendapatannya terancam dengan gencarnya operasi illegal loging. Sementara disisi lain, hutan memang harus dilestarikan demi masa depan kehidupan. Disinilah Perhutani, Deperindag maupun Dinas Sosial bisa duduk bersama membahas keberlangsungan kehidupan para eks penderita kusta. (gt)