Sebulan yang lalu kita digegerkan oleh hiruk pikuk akan kemungkinan mentasnya Lady Gaga di Jakarta. Terjadi pro dan kontra dan akhirnya pihak yang kontra lebih didengar oleh pemerintah dan konser itu batal berlangsung. Indonesia yang secara ekonomi semakin maju meskipun pemerataan semakin lebih jauh panggang dari api telah membuat paling tidak ada 5 juta orang yang kemampuan rata-rata ekonominya sudah hampir sama dengan penduduk Singapura. Dari 5 juta tersebut paling kurang sebanyak 2,5 juta adalah penduduk elite dikawasan Jabodetabek. Tidak mengherankan bahwa selera budaya dari mereka ini sudah tidak berbeda dengan selera penduduk Metroplis Dunia ditempat lain. Remaja mereka lebih gandrung akan Lady Gaga dan besar kemungkinan tidak pernah kenal siapa itu AT Mahmud dan Ibu Sud. Jangan ditanya apakah mereka piawai menyanyikan lagu lagu nasional yang dahulu dikenal sebagai Sapta Swara Tama.
Ketika para pengritik Lady Gaga mengatakan bahwa penyanyi “SUPER KONTEMPORER” asal AS ini sangat Seronok dan Jorok maka para pemebelanya mengatakan bahwa acara “Cokek, Dangdut , Gandrung Banyuwangi, Jaipong dan lain lain yang dipentaskan di kampong kampong sampai kepelosok Indonesia juga tidak kalah jorok dan seronoknya. Kita harus akui bahwa sejak lebih dari sepuluh tahun ini telah bermunculan Lady Gaga –Lady Gaga local hampir diseluruh Indonesia. Juga tampilan artis artis penyanyi dan penari kita di layar kaca tidak “kalah berani” dibandingkan dengan artis dunia manapun. Kotak Pandora yang dibuka oleh Reformasi nampaknya dimanfaatkan dengan hebat oleh para penggiat budaya dan mereka mereka yang hidup dari industri hiburan. Pertanyaan kita adalah apakah kita yang larut oleh terpaan gelombang globalisasi budaya dunia yang sebut saja sebagai “LADY GAGAISM” atau memang dari sononya budaya kita juga penuh dengan kejorokan dan kesronokan? Jawaban kita tentu adalah lebih pada penyebab yang disebutkan diawal kalimat. Bukankan nenek moyang kita sangat bangga akan “BUDAYA ADILUHUNG”. Lalu dimanakan gerangan sisa sisanya ? Yang kita lihat di kampong pelosok di Bogor bukan lagi Neneng Salmiah berjoget Jaipong tetapi Lady Gaga local yang mengeksploitir sex appealnya dalam berjaipong. Tidak dapat dipungkuri bahwa Revolusi Teknologi Informasi telah membuat semua orang bias melihat perkembangan yang terjadi diseluruh dunia pada saat yang hampir bersamaan waktunya. Tanpa ada upaya untuk meningkatkan daya tahan budaya bangsa Indonesia maka kemajuan teknologi akan serta merta direspons dengan melakukakn pergeseran budaya. Termasuk budaya menerabas dan jalan pintas yang tidak memperhatikan perlunya proses untuk mencapai kemajuan, Tidak mengherankan manakala anak anak kita didesa bukan bertambah bersemangat untuk belajar dan menuntut ilmu untuk hari depan yang lebih baik meskipun sudah tersedia ponsel dan dvd. Surabaya, awal Juni 2012