Dalam beberapa dasawarsa terakhir mobilitas perempuan tampak pada peran mereka yang besar-besaran sebagai TKI di luar negeri. Karena pendidikan mereka hanya tamatan SD atau sebagaian kecil SMP, peran mereka sebagai pembantu rumah tangga pada keluarga keluarga. Jasa mereka untuk negara bagus, karena mendatangkan devisa yang besar tapi nasib di antara mereka di luar negeri ada yang menyedihkan, juga nasib keluarga yang ditinggalkan ada yang berantakan.
KARAKTER DAN PERAN PEREMPUAN INDONESIA
Oleh Drs. Machdar Somadisastra
Relawan Sosial
1. Jasa Kartini
Raden Ajeng Kartini Putri Bupati Jepara, masa hidupnya hanya 25 tahun, lahir pada tanggal 21 April 1879 dan meninggal pada tanggal 17 Oktober 1904, sebagai istri Bupati Rembang. Seperti pada umumnya anak perempuan Jawa pada masa itu hidup dalam keluarga bangsawan yang terkungkung oleh adat. Namun demikian sebagai putri Bupati ia dapat memasuki Europche Lagere School (ELS), Sekolah Dasar Belanda yang mempergunakan pengantar bahasa Belanda.
Sebagai putri terpelajar dan dapat berbahasa Belanda ia berkomunikasi dalam skala internasional dengan teman-teman sekaumnya di negeri Belanda. Proses komunikasi itu yang menyebabkan ia belajar hingga R.A. Kartini berkarakter suka membaca, suka belajar, haus ilmu dan itu pula yang menyebabkan ia kritis dan gigih mengkomunikasikan cita-cita untuk kaumnya. Ia yakin pendidikan dapat mengubah nasib perempuan, ia mendirikan sekolah untuk anak perempuan di Rembang dan di Jepara.
Atas dasar karakter dan jasa-jasanya khusunya untuk meningkatkan derajat perempuan dan umumnya untuk kemajuan masyarakat ia memperoleh Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional dari Negara Republik Indonesia.
Seratus enam (106) tahun setelah RA. Kartini wafat, masyarakat Indonesia terus berubah, karena jasa Kartini dan jasa-jasa pejuang bangsa berikutnya, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Interaksi masyarakat Indonesia dengan masyarakat-masyarakat lainnya di dunia menyebabkan proses adopsi dan akulturasi kebudayaan meliputi bidang-bidang ilmu dan teknologi, informasi, politik, ekonomi dan sosial yang meperkaya kebudayaan Indonesia.
2. Pendidikan dan Perempuan
Sejak terbentuknya Negara Republik Indonesia, Undangn-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa setiap warganegara, laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama. secara formal menurut Undang-Undang setiap warganegara, laki-laki dan perempuan berhak menikmati pendidikan dan pengajaran. Sekalipun begitu sebagian besar lapisan bawah belum menggunakan haknya untuk memasuki sekolah terutama untuk anak perempuan. Untuk menarik anak-anak itu ke sekolah pada tahun 1950 an Pemerintah memberlakukan kewajiban belajar sekolah dasar. Dengan program kewajiban belajar pun masih banyak anak-anak terutama anak perempuan yang tidak masuk sekolah. Tak ayal lagi jika angka buta huruf perempuan lebih tinggi dari laki-laki. Masyarakat masih memandang perempuan sebagai ?tiang wingking? (orang belakang), peranya hanya di dalam keluarga belum banyak di luar keluarga.
Pada tahun 1950 an dan tahun 1960 an masih ada sekolah-sekolah lanjutan pertama dan lanjutan atas khusus untuk anak perempuan seperti SKP, SGKP dan SGTK. Dalam pada sekolah-sekolah lanjutan tehnik seperti STP dan STM, SGPT muridnya laki-laki.
Pada tahun 1970 an data masalah pendidikan Indonesia menunjukkan masalah kuantitatif, masalah kualitatif dan masalah relevansi. Masalah kuantitatif adalah masalah masih rendahnya angka partisipasi untuk SD, DLTP dan SLTA. Jumlah penduduk yang buta huruf pun sangat tinggi. Sejak tahun 1955 sampai dengan tahun 1990 an bantuan Bank Dunia Indonesia melancarkan gerakan pemberantasan buta huruf. Namun statistik pada tahun 2006 menunjukkan 18,1 juta penduduk Indonesia buta huruf. Pada tahun 2007 dan tahun 2008 penduduk buta huruf turun menjadi 11,8 juta dan 10,1 juta. Sebagaian besar dari penduduk buta huruf adalah perempuan.
Untuk meningkatkan angka partisipasi anak usia sekolah dasar sejak tahun 1970 an dibangun SD Impres di seluruh negeri di kota-kota kecil, di kota-kota besar sampai di pedesaan. Di daerah-daerah terpencil didirikan SD kecil. Dengan program ini anak-anak perempuan mulai terjaring memasuki sekolah. Bantuan kesempatan masuk SD berdampak pada meningkatnya tamatan SD yang memasuki SLTP. Pemerintah dan swasta secara bertahap membangun SMP, angka partisipasi anak usia SMP mulai meningkat dan anak perempuan termasuk di dalamnya. Setelah angka pasrtisipasi anak usia SMP cukup tinggi berada di sekolah Pemerintah pada tahun 1985 an mulai berencana menggagas kewajiban belajar 9 tahun dan muncul konsep pendidikan dasar 9 tahun. Pada suatu lokakarya yang diselenggarakan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur pada saat itu penulis menyampaikan konsep reorganisasi SD dan SMP dalam suatu komunitas, sehingga lulusan SD ?Mudah Masuk? ke SMP dengan biaya murah. Alhamdulilah Gubernur Jatim Bapak Dr. H. Sukarwo mulai tahun 2010 ini melaksanakan pembangunan pendidikan dasar satu atap, di daerah pedesaan. Semoga diperkotaanpun diberlakukan kebijakan yang sama.
Pada tahun 2000 an ini dapat dilihat anak-anak laki-laki dan peremouan sebagain terbesar berada di bangku sekolah SD dan SMP, dan sebagain besar berada di bangku SMA dan sebgaian kecil duduk di bangku Perguruan Tinggi.
Bagaimana dengan kualitas mereka laki-laki dan perempuan lulusan SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Selama + 30 tahun telah dilaksanakan perbaikan dan pengembangan kualitas dengan program-program penyempurnaan kurikulum, penataran guru dan penyempurnaan sistem pendidikan guru, pengadaan sarana dan prasarana dan lain-lain, namun kualitas sebagaian besar lulusan belum memadai. Aspek kogmisi mungkin dapat memadai, aspek psikomotorik mungkin kurang memadai dan aspek afektif tidak memadai. Evaluasi pendidikan sebagain kecil pada aspek psikomotorik dan aspek afektif atau sikap mental sangat kecil dan terlupakan atau ditelantarkan. Kelompok aspek efektif dapat dilihat pada perilaku sebagian lulusan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan nyata di dalam masyarakat seperti kurang tanggung jawab, kurang disiplin, motivasi rendah, harapan tidak jelas, kurang dapat kerjasama, kurang peduli terhadap sesama dan terutama lingkungan dan kurang minat baca.
Apa pula yang telah dilakukan Pemerintah dalam memecahkan maslah relevansi pendidikan dan lapangan kerja? di SD dan di SMP dilaksanakan mata pelajaran Pra Karya. Tampaknya mata pelajaran itu tidak serius, dan anak-anakpun tidak termotivasi. Praktek-praktek lapangan dan pembangunan bengkel-bengkel kerja dilaksanakan. Program ini tidak merata di seluruh penjuru negeri, kendati muncul konsep link and match between school and industry. Sebagian terbesar sekolah tidak dapat melaksanakan konsep ini, Sekolah belum bisa melakukannnya, jurang pemisah antara sekolah dengan industri lebar mengangga.
Pada tahun 1990 an pada Perguruan Tinggi mulai diperkenalkan mata kuliah kewirausahaan di samping Kuliah Kerja Nyata yang sudah lama dilaksanakan. Apa akibat dari relevansi rendah? Pengangguran lulusan-lulusan, laki-laki dan perempuan tidak banyak tertampung pada industri dan perusahaan yang berkembang, maupun pada gugus birokrasi karena tidak memenuhi persyaratan kualifikasi.
3. Karakter, kedudukan dan peran perempuan
Melalui upaya hukum, perempuan Indonesia sudah memperoleh kedudukan yang setara dengan laki-laki, tapi realitas sosial menunjukkan bahwa kedudukan atau status itu harus diraih. Seperti telah dirintis RA Kartini, pendidikan merupakan saluran mobilitas sosial. Namun lagi-lagi sebagain masyarakat masih ada yang memberikan kesempatan lebih kepada laki-laki daripada perempuan. Dnegan demikian sebagain besar anak perempuan tidak banyak menikmati pendidikan tinggi. Pada tahun 2000 an ini sebagian terbesar perempuan lulusan sekolah dasar sebagian kecil sekali lulusan perguruan tinggi.
Akibat pendidikan yang dapat diraih perempuan seperti itu maka kedudukan dan peran yang dicapaipun rendah pula. Seperti diketahui bahwa perempuan dalam masyarakat sekarang ini mempunyai dua keduudkan dan peran, yaitu sebagai ibu rumah tangga dengan peran domestik megurus rumah tangga, mengasuh anak dan lain-lain dan sebagian pekerja dengan peran publik dalam berbagai sektor kegiatan baik tradisional, informal maupun formal. Dengan kesibukan perempuan di luar rumah tangga baik di pedesaan maupun di perkotaan. Sudah mulai tumbuh ?Panti ? Panti Penitipan Anak? yang formal maupun yang informal dan ?baby sister? bagi keluarga mampu.
Dalam beberapa dasawarsa terakhir mobilitas perempuan tampak pada peran mereka yang besar-besaran sebagai TKI di luar negeri. Karena pendidikan mereka hanya tamatan SD atau sebagaian kecil SMP, peran mereka sebagai pembantu rumah tangga pada keluarga keluarga. Jasa mereka untuk negara bagus, karena mendatangkan devisa yang besar tapi nasib di antara mereka di luar negeri ada yang menyedihkan, juga nasib keluarga yang ditinggalkan ada yang berantakan.
Lain halnya dengan nasib perempuan lapisan menengah ke atas yang dapat menyelesaikan pendidikan tinggi yang jumlahnya jauh lebih sedikit dari lapisan menengah ke bawah mereka bekerja pada sektor formal perusahaan-perusahaan dan industri, perdagangan dan jasa, guru dan di kantor-kantor pemerintahan termasuk diluar negeri. Diantara mereka sebagian sudah menggunakan politik sebagai mobiltas, sehingga ada yang sudah menjadi Presiden, Gubernur dan Bupati-Bupati.
Dari perempuan-perempuan lapisan bawah, lapisan menengah dan lapisan atas yang berstatus dan berperan ganda, masyarakat mengharapkan perempuan mempunyai karakter yang sama dengan lelaki walaupun ada perbedaan kodrati seperti yang telah dirintis oleh RA. Kartini, selain berkarakter keibuan dan sangat perhatian terhadap pendidikan anak, perempuan suka belajar dan suka membaca sehingga kritis dan gigih membangun moral dan martabat bangsa yang sekarang sedang carut marut dilanda berbagai kejahatan dan korupsi yang disebabkan hancurnya nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan. Selamatlah perempuan, selamatlah masyarakat dan kebudayaannya.