BK3S || BK3S JATIM || BKKKS || BKKKS JATIM || SOSIAL
Tokoh

KAMSIYAH DJUWITO

“Enampuluh Tahun Berkarya Sebagai Pelukis dan Harus Berhenti Karena Sudah Waktunya”

Painting is a never ending process of learning  sebagai mottonya, kini benar benar ending, berhenti dan berakhir pada hari sabtu tanggal 3 Agustus 2019 pukul  17.24 WIB.  di RS RKZ Surabaya dan tidak akan ada lagi goresan di atas kanvas,  tidak lagi terdengar permintaan warna yang harus di tuang  pada palet,  tak lagi ada kata kata “keras dan pedas” untuk setiap hasil goresan yang tak berkenan di hati.

Karya karya Kamsiyah Djuwito, sudah tersebar di rumah rumah kolektor dengan jumlah tidak terhitung lagi. Ratusan goresan warna warni yang di tinggalkan kini masih tersimpan rapi sebagai warisan bersama buku buku kenangan. Bagi Trinik Murih Hartrini, Kamsiyah Djuwito bukan sekedar mertua tetapi sudah bagaikan ibu kandung yang kemanapun sang mertua bepergian, Trinik selalu mendampingi, menemani bahkan melayani kebutuhan sang mertua.  Apalagi sejak tahun 2015, Kamsiyah Djuwito sudah mulai berkurang aktifitasnya, mulai sering lelah tetapi semangatnya masih luar biasa untuk tetap berkarya, bertemu dengan sesama pelukis Surabaya maupun Jakarta, mengunjungi pameran lukisan bahkan  ikut seminar. “Ibu itu orang yang kuat dan tangguh,  selalu positif thinking  dan punya semangat yang tinggi dalam berkarya, walaupun usia ibu sudah  hampir sembilan puluh tahun, tidak pernah mau berhenti untuk belajar, Ibu itu suka membaca  suka menulis  sampai akhir  usia.  Walaupun kondisi beliau  sudah sakit,  membaca masih terus dilakukan, menulispun masih rajin, tetapi tulisannya sudah tidak bagus, sudah tidak karu karuan. Ibu menulis tentang peristiwa yang saat itu tengah  di jalani sama beliau,  seperti buku harianlah, Ibu orang yang tidak pernah berkeluh kesah, Ibu itu mandiri,  tidak cengeng maksudnya  walaupun merasa sakit, tidak pernah menunjukkan pada orang lain kalau lagi sakit. Hanya orang orang yang berada di sekelilingnya yang tahu, ibu itu orang yang tidak mau diam, selalu mengisi sesuatu  dengan positif di dalam kehidupannya.  Disiplin yang kental terhadap putra putrinya sehingga Alhamdulillah, berhasil membesarkan ke lima putra putrinya”.

Trinik menambahkan, sebagai guru pada saat itu, wajarlah kalau K. Djuwito gemar menulis, membaca dan  belajar  sebagai bahan ajar bagi murid nuridnya dan setelah pensiun pun menjadi hobby dan tertuang dalam sebuah buku yang nyaris di lounching, tapi Allah SWT memanggil K Djuwito sebelum buku yang ditulis naik cetak.

“Kurang seminggu wafat, saat kontrol ke dokter, ibu masih bicara tentang politik sama dokternya.  masih gobrol tentang situasi di Indonesia, Biasanya setelah dari dokter, ibu mengajak ke Jl. Kayoon untuk membeli bunga, duduk berlama lama menikmati sederetan bunga bunga, itu selalu ibu lakukan setiap selesai kontrol, bagi ibu, melihat lihat dan merawat  tanaman adalah obat dan itu membuat ibu senang.” kenang Trinik.

Sepeninggal K. Djuwito, Trinik akan tetap  menjaga silaturahmi dengan komunitas Ikatan Wanita Pelukis Indonesia (IWPI), tetap menjalankan semua yang dulu dilakukan K. Djuwito “ibu sudah pesan dua stand pameran di Pasar Seni Lukis Indonesia tahun depan, saya tetap akan ikutkan koleksi koleksi ibu, seperti keinginannya sebelum meninggal. Pameran rutin bersama IWPI pun akan tetap ikut, saya baru menyadari kalau ibu itu mengajarkan pada saya, bahwa perempuan itu harus mandiri jangan tergantung pada suami, harus punya bermacam macam kemampuan.  intinya ibu mengajarkan pada saya  tidak boleh diam selagi otaknya masih bisa berfikir, harus digunakan untuk berkarya”  kenang Trinik.

Tidak berbeda dengan Trinik,  pelukis  Ary Indrastutie, mengenal K djuwito sebagai ibu dan perempuan hebat,  memiliki   semangat yang tinggi dan keras. ”Bagi yang tidak tahu karakter beliau, pasti sakit hati mendengar  kata katanya yang “pedas” menilai tentang lukisan, tetapi kalau sudah sering ketemu dan mengenal sifat beliau,  ya gak papa,  ya biasa biasa saja.  Sering memberi wejangan dan di usia yang sudah sepuh, badannya kurang sehat, semangatnya tetap luar biasa, menginspirasi teman teman pelukis perempuan“.

Menurut Ary, sebagai penggagas IWPI Jawa Timur, K. Djuwito selalu menularkan ilmu dengan mudah, meluangkan waktu untuk siapa saja yang mau belajar dan memberi semangat terus berkarya, mengajak pameran dua kali dalam satu tahun dan selalu bercerita kalau masih ingin lama di dunia lukis. Sekitar tahun 1997, Ary  pertama mengenal K Djuwito,  saat itu dia  pertama kali ikut pameran bersama dan baru di tahun 2013 Ary lebih dekat dengan K Djuwito. Karena sering diajak diskusi bisa tentang perkembangan dunia lukis atau apapun malah sering di ajak melihat desa asal K Djuwito di Blitar.

Ary sangat terkesan, saat di pasar seni lukis Jatim ekspo tahun 2018, K. Djuwito keliling melihat lihat lukisan tidak pernah mau menggunakan kursi roda, setiap stand berhenti mengamati dan diskusi dengan pelukisnya, begitu terus hampir semua stand pameran di singgahi. Sungguh  luar biasa.  Ary  merasa  belum  ada sosok pelukis yang bisa menggantikan K Djuwito, “Lukisan khas bu Djuwito bukan natural tapi luar biasa, komposisi warnanya tegas mengimpress. Padahal penglihatannya sudah tidak sebagus dulu tapi  gelap terang warna warna luar. Beliau melukispun juga otodidak tapi hasilnya bagus. Memang perempuan pelukis saat ini sudah banyak tetapi dedikasinya pada wadah ini sepertinya belum ada  yang bisa menggantikannya. Sebenarnya banyak kolektor  lukisan yang berani beli mahal,  sampai sepuluh juta  tetapi sering tidak di berikan oleh K. Djuwito, saat beliau tidak ada saya baru faham kalau beliau sengaja tidak menjual karena untuk warisan seni.” tambah Ary.

Nuniek Silalahi  terkesan pada K Djuwito  karena  telaten mengajari generasi muda , “Kadang kadang kita menggambar masih dengan pertimbangan macam macam, nah beliau memberi pengetahuan tambahan, mengumpulkan yang muda muda, memberi wawasan cara melukis“. Nuniek mengenal K. Djuwito saat masih sama sama tinggal di Blitar. “Bertemu kembali saat konggres Persatuan Anggrek Indonesia ketika itu Jawa Timur mengirimkan utusan dan saya mengantarkan adik untuk mengikuti  pemilihan putri anggrek, salah satu team dari Jawa Timur bu Djuwito, tetapi saat itu tidak terlalu dekat, baru setelah saya bermain di rumah beliau dan melihat salah satu lukisan besar tentang persawahan yang sepertinya saya sangat mengenal. Setelah saya tanyakan ternyata benar, itu adalah daerah favorit saya, namanya Pagergunung, karena saya pernah bermimpi punya rumah di sana dan rumah rumah itu akan kembali menjadi persawahan. dan pemandangannya itu persis yang ada di lukisan bu Djuwito, sebuah kebetulan yang luar biasa.”

“Saya sangat terkesan dan saya menghargai beliau yang rupanya masih bertani di desa Pagergunung Kabupaten Blitar. Masih memiliki sawah yang luas yang menghasilkan sehingga kadang kadang kita di tawari beras  hasil pertaniannya, beliau masih konsisten padahal biasanya kalau sudah tinggal di kota, desanya sudah di tinggal.” Tambah Nuniek, yang Nuniek kagumi, K. Djuwito mempunya satu semangat terus berkarya sampai hari tuanyapun masih terus melukis, itu sudah satu jiwanya, tidak males sampai hari tuanya“. Tidak membuang buang waktu untuk bermanja manja, kalau sakit karena usia tua, itu ya sudah seharusnya begitu.” Nuniek berharap lukisan yang merupakan warisan bagi putra putrinya, kalau bisa  tetap di jaga karena itu suatu peninggalan yang luar biasa .

Related posts

In Memoriam : Bapak Drs. Machdar Somadisastra

admin01

MENGENANG BASOFI SUDIRMAN, SANG JENDERAL YANG RAMAH

admin01

Keteladan warisan nilai-nilai almarhumah Ibu Grietje Soetopo Van Eybergen

admin01
buka chat
Butuh bantuan?
hi kakak
Ada yang bisa kami bantu?