BK3S || BK3S JATIM || BKKKS || BKKKS JATIM || SOSIAL
Berita

KADARUSLAN – SOLIDARITAS, DEMOKRATIS, KERAKYATAN

?Watak Surabaya yang menonjol. Surabaya itu punya karakter yang menonjol. Solidaritas sesama itu tinggi sekali,? ujar Kadaruslan, yang akrab dipanggil dengan nama Cak Kadar saat ditemui di ruang kerjanya, Pusura Surabaya. Suara Cak Kadar terdengar begitu heroik ketika menceritakan tentang peristiwa 10 November di Surabaya. Ketika membandingkan, Cak Kadar melihat kondisi sosial antara masa perang dengan masa kini begitu jauh berbeda. Sebagai saksi sejarah, Cak Kadar merasakan bahwa Surabaya telah kehilangan identitasnya saat dia pulang dari perantauannya di Kalimantan, sekitar tahun 1992.

?Surabaya itu dulu kampungnya tidak ada pagar, sekarang di mana-mana ditutup pagar. Alasannya untuk keamanan. Kenapa kok, tidak aman? Sebab tidak ada rasa solidaritas, tidak punya rasa kenal. Dulu mau mencari siapa gampang,? kata bungsu dari 11 bersaudara ini. Ia menjelaskan bahwa kondisi ini terjadi akibat adanya krisis sosial di masyarakat. ?Ada yang bunuh diri karena tidak bisa menyekolahkan anaknya, penjambretan, pengangguran, banyak yang ditangkap karena preman. Itu semua karena keadaan sosial dan ekonomi yang tidak karu-karuan,? ujarnya.

Adanya pembedaan strata sosial juga mempengaruhi pergaulan sosial di masyarakat. ?Indonesia itu terlalu menyolok perbedaan sosial ekonominya, yang melarat semakin melarat, yang kaya ya, semakin kaya,? lanjut Cak Kadar. ?Sedihnya saya, sekarang ini lho ada orang dijambret, dipukul, orang disebelahnya ya, diam saja. Tetangganya kemalingan juga tidak tahu, karena tidak kenal. Surabaya ini sekarang begitu,? ujarnya dengan mimik terheran.

Pria yang menekuni bidang seni budaya ini sangat ingin mengembalikan budaya Surabaya seperti yang dia rasakan dulu. ?Memang kelihatannya kasar orang Surabaya itu. Karena Surabaya itu bandar, berkumpul orang-orang dari macam-macam agama, etnik, suku. Kesimpulannya Surabaya itu lebih kaya, kaya bahasanya, gampang pergaulannya, lebih peka. Kelihatannya tidak punya unggah-ungguh, tapi Surabaya itu peka sekali kepada orang lain,? katanya.

Ia mencontohkan dari bahasa yang biasa dipakai orang Surabaya lebih ekspresif dan kontekstual.
?Misal ketemu tanya, ?eh, Cak Kadar, sik urip tah (apakah masih hidup)?? Bukan mengharapkan saya mati, tidak. Tapi senang ketemu saya. Ini sekedar saya ulas macam-macam supaya mengerti, lah. Saya bukan mau menuntut anak-anak itu, tapi sekarang ini banyak yang tidak mengerti. Makamnya Dr. Sutomo dan Bung Tomo saja tidak tahu,? pukasnya.

?Tapi sekarang, maaf saja ya, kita ini terkena budaya malas. Itu akibat dari budaya instan, budaya yang ingin cepat-cepat saja. Itulah sekarang ini,? lanjut suami Supiyati. Pria yang pernah berprofesi sebagai guru ini juga memberi perhatian dengan menjelaskan bagaimana pelajar yang tidak mau susah payah dengan mengambil cara menyontek. Atau kalangan pelajar tinggi yang lebih memilih untuk membeli ijazah saja ketimbang berkuliah. Sampai di bidang olah raga, yang suka melakukan pembelian pemain tanpa menitikberatkan pada pembinaan.

Perhatiannya yang besar di banyak bidang terutama kecintaannya kepada kota kelahirannya membuatnya untuk tak luput memperhatikan gedung-gedung atau bangunan bersejarah yang bertebaran di kota Surabaya. Pelestarian gedung atau bangunan bersejarah sangat diingini oleh bapak yang memiliki 7 anak ini dengan mencontohkan rumah sakit bersejarah yang telah hilang berganti dengan plaza.

?Jembatan Merah, Gedung Internacio yang depannya ada Taman Jayengrono, itu mestinya dirawat, diberi tetenger yang sesuai. Seperti Keputran, sekitar akhir Oktober (1945), banyak yang mati waktu itu. Pantas kalau didirikan monumen, tapi jangan patung sapi lah, kalau didirikan patungnya Bung Tomo atau pejuang kan lebih pantas,? kata pria yang pernah bekerja sebagai wartawan di Harian Berita Yudha Jakarta.

Mengenang Surabaya

?Saya kira seumur hidup ini tidak ada perang seperti 10 Nopember. Kita punya tentara, TKR, yang punya bedil, tapi Pemuda Republik Indonesia (PRI) punya bedil, Angkatan Pemuda Indonesia (API) punya, Laskar Minyak punya, Bung Tomo sendiri membentuk BPRI dan punya bedil, tapi tidak ada bedil-bedilan antara kita, semua ditujukan kepada penjajah. Maka itu, 10 Nopember ini perangnya rakyat,? lanjutnya. Cak Kadar menjelaskan bahwa Sekutu, diwakili Inggris, kagum waktu itu. Perkiraan Inggris Kota Surabaya dengan hitungan militer sudah beres dalam tiga hari, nyatanya tiga minggu perang masih saja terjadi. Inggris tidak memperkirakan jika saat itu berperang dengan orang kampung. ?Tapi kalau sama orang kampung dianggap tawuran,? selorohnya.

Ia menceritakan saat itu, begitu Bung Tomo berbicara, ?Lawan ! Tidak mau menyerah!? Semua kampung membuat dapur umum, tanpa ada yang menyuruh, siapa saja yang datang boleh makan tanpa membayar. ?Oleh karena itu pahlawan 10 Nopember ya rakyat, karena itu perangnya rakyat,? jelasnya. Hal ini terjadi karena solidaritas sesama tinggi sekali diantara rakyat Surabaya, sebagai watak dan karakter yang sangat menonjol.

Dijelaskannya pula bahwa karakter lain yang dimiliki rakyat Surabaya adalah sikap demokratis. Perang 10 Nopember berjalan tanpa komandan, panglima, ataupun surat resmi dari pemerintahan pusat. ?Lha, itu kan, aneh? Perang sama musuh itu mustinya ada SK-nya. Setelah Jakarta tidak bisa menentukan, diserahkan kepada orang-orang Surabaya,? lanjutnya. Tokoh-tokoh Surabaya lalu berkumpul dan mengambil keputusan untuk berperang. ?Tali duk tali layangan, nyowo situk ilang-ilangan. Lawan,? begitu bunyi kidungan yang diutarakannya untuk menggambarkan hasil keputusan bersama tersebut.

Karakter lain dijelaskannya pula, ?Merakyat sekali orang Surabaya itu, anti sekali orang Surabaya dengan feodal. Maka itu tidak ada ndoro kakung ndoro putri (tuan, nyonya) di Surabaya, paling-paling pangkatnya itu cak (mas).? Dikatakannya bahwa karakter rakyat dahulu semua berjuang tanpa memandang memiliki pangkat atau tidak, ?Pokoknya berjuang. Semua berjuang. Perkara habis perang jadi apa tidak mikir waktu itu.?

Ketua organisasi sosial Putera Surabaya (Pusura) ini juga menuturkan bahwa perjuangan rakyat Surabaya sudah dimulai jauh-jauh hari sebelum pertempuran 10 Nopember 1945. Dr. Sutomo, Dr. Soewandhi, Dr. Syamsi, KH Mas Mansyur dan lain-lain termasuk pelopor dari Surabaya untuk membuat gedung tempat musyawarah, klinik kesehatan, sekolah rakyat (setingkat SD), dan banyak lagi termasuk mendirikan organisasi yang dipimpinnya saat ini pada tahun 1936.

Rakyat Surabaya dahulu yang berasal dari kampung-kampung mendirikan Sinoman, yang berarti merapatkan, menyatukan. Sinoman ini berdiri di tiap kampung yang memiliki aset berupa terop, piring, dan kebutuhan sosial lain. ?Dulu warga Surabaya di kampung itu, kalau ada warganya susah sedikit, wah semuanya keluar, gotong royong,? ujarnya.

?Saya dulu waktu mengungsi itu susah, makan dua kali sehari saja belum tentu, satu kali makan itu nasi jagung, pakaian kalau dua stel saja sudah hebat, tapi saya merasa senang,? kenangnya. Saat masuk ke desa disambut oleh warga, diberi makanan, dan warga pun menyembelih ayam jika punya. Lanjutnya, ?Padahal orang desa itu ya, hidupnya susah, tapi perasaan senasib itu ada.?

?Karakter itu kalau saya lihat keluar dari kampung, maka kalau saya sering mengkritik, jangan dilupakan kampung-kampung itu,? katanya. ?Arek Suroboyo itu bukan asli atau tidak asli Surabaya tapi yang punya karakter, solidaritasnya tinggi, demokratis dan kerakyatan, itu Arek Suroboyo,? jelasnya dengan bersemangat.

Jangan Dilupakan

?Pikiran-pikiran merasa senasib membuat saya selalu gelisah,? jelasnya perlahan. Pria yang rambutnya keperakan ini menuturkan, ?Padahal saya ini cukup, kaya malahan, saya sudah tidak butuh apa-apa. Memperhatikan keadaan sekarang, (ada yang) tidak bisa mendaftarkan anak sekolah terus bunuh diri, berobat masih ditanya-tanya pekerjaannya apa. Ini kan gejala-gejala yang mencerminkan keadilan sosial yang kurang.?

Bagaimana mengatasinya? ?Revolusi,? cetusnya. ?Revolusi, bukan berarti terus mati-matian. Revolusi, dengan mengganti semuanya,? terangnya. Mengganti budaya yang ada, dengan budaya untuk mengerti yang patut atau tidak patut, tidak terjebak dengan budaya formalitas yang melahirkan orang yang tidak tahu malu. Revolusi budaya, merubah sikap, dan keluar dari krisis kepemimpinan dengan memberikan keteladanan.

Cak Kadar yang tinggal di Wisma Menanggal Surabaya ini juga menjelaskan, jika bisa mengenali orang kampung, mau melihat ke bawah dan tidak malas, bisa tahun dan mengerti dengan budaya kampung. Disebutkannya, dengan mengadakan acara renungan di kampung-kampung dan gedung bersejarah, generasi muda bisa diajak untuk tahu dan mengerti bagaimana perjuangan orang-orang dahulu, dan diharapkan generasi muda memiliki rasa tanggung jawab.

?Bukan saya mau menghina yang sekarang ini, tidak, tapi kita harus lebih baik dari yang dulu-dulu. Sekali lagi, saya tidak ingin memberhalakan zaman dulu, sekali lagi tidak, cuma saya ingin jangan dilupakan,? harapnya.

Related posts

Seminar Peran Lingkungan dan Keluarga dalam Pemberdayaan Anak

admin01

In Memoriam : Bapak Drs. Machdar Somadisastra

admin01

THE OLD MAN AND THE WHITE HOUSE

bk3s
buka chat
Butuh bantuan?
hi kakak
Ada yang bisa kami bantu?