Kemerdekaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran pers dan pers Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran Herawati Diah. Namanya identik dengan Harian ‘Merdeka’, yang turut didirikannya bersama sang suami, BM Diah, pada 1 Oktober 1945 –tak lama setelah proklamasi RI. Melalui surat kabar yang berslogan ‘Berfikir Merdeka, Bersuara Merdeka dan Hak Manusia Merdeka’ ini Herawati mendukung penuh visi BM Diah, bahwa Indonesia harus memiliki media yang menyuarakan perspektif negara-negara dunia ke-tiga, bukan hanya menjadi corong kantor berita negara barat. Herawati Diah sendiri berpandangan bahwa ‘kerja jurnalistik itu sama halnya dengan kepemimpinan, arahnya mewujudkan cita-cita kemerdekaan’.
Ibu Hera –demikian beliau biasa dipanggil semasa hidupnya, lahir di Belitung, 3 April 1917. Ayahnya, Raden Latip –seorang dokter– dan ibunya, Siti Halimah binti Djojodikromo –seorang ibu rumah tangga yang mendorongnya melanjutkan pendidikan di Amerika sehingga menjadikannya perempuan Indonesia pertama yang meraih gelar sarjana dari luar negeri. Memulai karir sebagai stringer untuk Kantor Berita United Press International (UPI) dan menjadi penyiar di Radio Hosokyoku Jepang, Ibu Hera-lah jurnalis yang menerjemahkan teks proklamasi ke bahasa Inggris dan Belanda untuk disiarkan oleh pers asing di seluruh dunia. Dari tangan dinginnya pula, pada 1955 lahir surat kabar berbahasa Inggris ‘Indonesian Observer’, yang menjadi official newspaper Konferensi Asia Afrika tahun itu di Bandung.
Perkembangan jaman, kemajuan teknologi dan dinamika politik membawa perubahan besar dalam peta pers Indonesia. Harian ‘Merdeka’ yang pernah memimpin pasar persuratkabaran di Indonesia mulai tergerus oleh kehadiran koran-koran baru yang lebih inovatif. Sebagai tokoh pers tiga generasi, Herawati tahu betul bahwa bisnis media tak lagi sesederhana tempo doeloe. Tidak ada yang lebih merisaukan hatinya dibanding melihat satu-persatu media yang didirikannya mengalami kemunduran. Di tahun-tahun menjelang reformasi, harian ‘Merdeka’ bahkan ditolak oleh agen, karena konon ‘susah dijual’, hutangnya mencapai Rp 3 M, sehingga meski berat hati, Herawati akhirnya memutuskan menyerahkan sepenuhnya pengelolaan ‘Merdeka’ kepada pihak lain. Peristiwa serupa terulang pada tahun 2001, ketika ‘Indonesian Observer’ yang dibidaninya pun harus dilepaskannya kepada pemilik baru akibat krisis keuangan berkepanjangan.
Lalu, apakah peran Herawati Diah dalam panggung pers nasional lantas berhenti sampai di situ? Tidak. Hingga akhir hayatnya, Ibu Hera tetap rajin menulis dan membaca media massa berbahasa Indonesia maupun asing. Ia menyatakan bangga melihat semakin banyak wartawati di perusahaan pers, bahkan menduduki posisi pemimpin redaksi. Menurutnya, “Pers selalu berada di depan untuk menyuarakan hak asasi manusia, termasuk kesetaraan gender, sehingga secara secara internal di perusahaan pers juga harus bisa menerapkannya.” Tahun 2005 Ibu Hera menulis memoarnya An Endless Journey: Reflections of an Indonesian Journalist, sembari terus aktif menjadi inspirator jurnalisme nasional. Sejumlah penghargaan telah dianugerahkan kepadanya, antara lain “Lifetime Achievement” dari PWI Pusat, Bintang Mahaputra, Press Card Number One, serta medali dari Unesco.
Ibu Hera tutup usia pada 30 September 2016 dalam usia 99 tahun dan dimakamkan di TMP Kalibata, peristirahatan terakhir yang layak, sebagai bentuk penghormatan negeri ini kepada seorang jurnalis yang humanis, lembut namun pantang menyerah bagai magnolia baja. Salah satu pesannya bagi insan pers nasional sangat esensial dan akan selalu relevan, “Semua harus semangat mendidik dan melatih wartawan, agar berwawasan aktual dan tetap menjaga kesantunan. Jangan lupa, wartawan harus sejahtera untuk membela kepentingan publik yang juga harus disejahterakan.” (dari berbagai sumber)
Oleh : A. A. I. Prihandari Satvikadewi
Sekretaris Pokja Anak dan Remaja BKKKS Provinsi Jawa Timur