Momentum peringatan Hari Disabilitas Internasional pada hari Minggu (2/12/2018) merupakan ajang bagaimana menjalin sillaturahmi antara sesama ummat manusia untuk bisa saling berbagi.
Hal itulah yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BKKKKS) Provinsi Jawa Timur untuk mendengarkan aspirasi dan memperjuangkan keinginan para insan disabilitas tuna rungu untuk mendapatkan hak nya memperoleh SIM D, SIM bagi penyandang disabilitas.
Ketua Umum BKKKS Provinsi Jawa Timur Bapak DR. H. Tjuk Kasturi Sukiadi, SE mengatakan bahwa ada keinginan dari sahabat sahabat tuna rungu untuk tertib berkendara di jalan, mereka selama ini ketakutan, karena mereka tidak mempunyai SIM. Oleh karenanya kami dari BKKKS Provinsi Jawa Timur merasa wajib memyuarakan aspirasi mereka, karena BKKKS Provinsi Jawa Timur ini sebagai rumah mereka. Berkaitan dengan itu, selaku Ketua Umum BKKKS Provinsi Jawa Timur, ”Saya sudah berkirim surat kepada Kapolda Jatim agar mendengarkan aspirasi anak anak kita tuna rungu keinginan tertib berlalu lintas agar bisa mendapatkan SIM D” Ujarnya. Surat yang ditujukan kepada Kapolda Jatim perhal SIM D bagi insan tuna rungu sudah dikirim tanggal 1 Oktober 2018.
Selang beberapa waktu surat dari BKKKS Provinsi Jawa Timur ke Polda Jawa Timur akhirnya mendapatkan respon, pada tanggal 22 Oktober 2018 BKKKS Provinsi Jawa Timur berkesempatan kordinasi dengan Polda Jawa Timur terkait Sosialisasi Mekanisme Permohonan SIM bagi insan disabilitas.
Kompol Dies Ferra Ningtias, S.I.K. Kasi SIM (Subditregident Ditlantas Polda Jatim) dalam kegiatan tersebut menyampaikan bahwa Penerbitan SIM D khusus bagi penyandang disabilitas dapat diterbitkan bila memenuhi persyaratan antara lain memenuhi persyaratan Administrasi, Usia dan Kesehatan serta melalui tahapan mekanisme penerbitan SIM dan dinyatakan lulus uji teori dan praktik.
Selama persyaratan tersebut terpenuhi maka Polri menerbitkan SIM sesuai dengan SIM yang diajukan, adapun berkaitan dengan permasalahan yang dibahas berhubungan dengan persyaratan kesehatan yang meliputi kesehatan jasmani dan rohani, kesehatan jasmani meliputi penglihatan, pendengaran, fisik/perawatan dan pemeriksaan kesehatan sudah diatur dalam Pasal 34-36 Perkap Nomor 9 Tahun 2012 tentang SIM, sesuai dengan ketentuan tersebut maka kesehatan dalam hal pendengaran menjadi salah satu atensi, hal tersebut dikarenakan dapat mempengaruhi keselamatan pengemudi di jalan raya, sebagai contoh dalam berkendara perlu pendengaran bagus mengingat dalam berkendara salah satu isyarat mengemudi adalah menggunakan klakson. Oleh sebab itu hasil dari diskusi ini akan di laporkan ke pimpinan untuk pengambilan kebijakan lebih lanjut dan bila ada tindaklanjut maka akan kami koordinasikan lebih lanjut dengan pihak-pihak terkait.
Sementara itu Akp Heru Sudjio Budi Santoso, S.H., (Paur SIM Subditregident Ditlantas Polda Jatim) menyampaikan bahwa Pihak Polri mengklarifikasi bahwa tidak ada maksud sama sekali untuk mempersulit para penyandang disabilitas dalam mendapatkan SIM, melainkan kami hanya mengikuti aturan yang sudah ada. Bagi kami ini adalah permasalahan baru yang menyangkut tuna runggu, terutama dalam hal pemeriksaan kesehatan untuk uji SIM dan akan kami tindak lanjuti lebih lanjut.
Terkait kesehatan dr. Fahim (berdinas di Dokkes Brimob) menyampaikan bahwa pemeriksaan kesehatan yang dilakukan menyangkut pemeriksaan secara umum yang meliputi pengukuran tensi, pemeriksaan perawakan/fisik, mata dan telinga, bila dalam pemeriksaan tersebut dinyatakan normal dan layak untuk memiliki SIM maka akan dikeluarkan surat keterangan dokter. Namun untuk hal-hal yang bersifat khusus pemeriksaan dilakukan oleh spesialis, seperti contoh dalam permasalahan ini melibatkan spesialis THT, Hal tersebut dikarenakan untuk menghindari adanya oknum yang memanfaatkan hal tersebut.
Dalam kesempatan tersebut Ketua Umum BKKKS Provinsi Jawa Timur Bapak DR. H. Tjuk Kasturi Sukiadi, SE menyampaikan bahwa BKKKS Provinsi Jawa Timur memfasilitasi dan mendampingi rekan-rekan tuna runggu yang ingin memperjuangkan hak-nya. Sesuai Undang-Undang memang sudah diatur sedemikian rupa, namun dalam hal ini dimohon untuk melihat dari sisi kemanusiaan, seperti gerakan Inklusi yang sudah berjalan di negara-negara maju, seperti dinegara maju yang dinilai adalah kompetensi atau keahliannya. Mengambil perbandingan dari Negara-negara maju kendaraan yang digunakan oleh penyandang disabilitas dipasangkan sticker atau tanda khusus sehingga pengemudi lain bisa mengetahui bahwa pengemudi tersebut penyandang disabilitas. Selain itu pertimbangan untuk memudahkan pengurusan SIM bagi penyandang tuna runggu adalah biaya hidup yang bisa dua kali lipat bila setiap hari harus naik angkutan umum. Dibeberapa tempat seperti di wilayah Kediri, Bandung, Kalimantan, ada beberapa penyandang tuna runggu yang sudah mendapatkan SIM, selain itu dibeberapa wilayah, penyandang disabilitas juga belum bisa mendapatkan SIM D padahal sudah mengajukan ke Satpas, maka kami berharap ada kebijakan khusus terkait permasalahan ini.
Maskurun (Yuyun), Ketua Gerkatin Jatim yang merupakan insan tuna runggu menyampaikan bahwa pada tahun 2007-2013 kami mengajukan permohonan SIM ke Polres Kediri namun ditolak karena alasan kesehatan/pendengaran, namun setelah kami berusaha untuk mengusahakan dengan menghadap ke Kapolres Kediri, kami bisa mendapatkan SIM dengan mengikuti ujian teori dan praktik dengan jujur tanpa melalui calo/suap, setelah itu tahun 2014 kami mengusahakan untuk diwilayah Sidoarjo, selanjutnya kami ke ke wilayah Surabaya, namun untuk wilayah Surabaya ditolak. Kami membutuhkan SIM untuk kebutuhan pekerjaan dan lebih meringankan biaya hidup. Harapan kami Kapolda bisa membuat peraturan khusus bagi tuna runggu, sehingga kami bisa menerima hak yang sama, kami pernah melakukan pemeriksaan ke dokter THT dan mendapatkan surat keterangan, namun waktu ke Satpas ditolak. Bagi tuna runggu, himbauan ditempat pelayanan tidak efektif bila menggunakan audio, seperti penyebutan nomor antrian ataupun pengumuman.
Ketua DMI Jatim, Abdul Syakur memberikan keterangan bahwa pada tahun 2005 kami pernah mengajukan permohonan SIM namun ditolak dengan alsan kesehatan, pada tahun 2010-2011 kami mengajukan kembali namun juga ditolak, setelah itu kami melakukan pemeriksaan dokter sekaligus menunjukkan kepada dokter bahwa kami bisa mengendarai kendaraan yang sudah di modif terlebih dahulu sesuai kebutuhan. Penyandang tuna runggu memang tidak bisa mendengar, namun mereka bisa merasakan bila ada kendaraan yang menyalip melalui getarannya, rekan kami yang tuna daksa di wiayah Madiun Kota dan Lamongan belum bisa mendapatkan SIM D dengan alsan pihak kepolisian belum siap. Kami berharap melalui pertemuan ini bisa dibantu bersama sama memperjuangkan agar kiranya kepolisian juga bisa memahami kekhawatiran kami, semoga saja keinginan kami untuk tertib, bisa didengar oleh kepolisian Jatim, sehingga ada diskresi syarat SIM D bagi penyandang tuna rungu.