Pada hari Kamis 10 September 2007, suami istri penyandang cacat tubuh (kaki) sedang berada ditempat kerjanya, bengkel sepeda dan tambal ban yang berdampingan dengan bengkel sepeda motor pada bangunan satu atap di pinggir Kota Kediri, Jawa Timur siang itu suaminya Sugeng (40 tahun) bercelana pendek tanpa baju dan istrinya, Kasiem (50 tahun) bercelana pendek pula berkaos biru, keduanya sedang duduk-duduk diamben bersama temannya, seorang lelaki berbaju putih. Diruang kerjanya tampak sebuah pompa kompresor, sepeda motor roda tiga, satu kotak peralatan.
Melihat kedatangan Warta Sosial, terutama melihat Bpk. Soeroso yang telah dikenalnya yang telah membantu dan mendampinginya dikala beliau menjadi kepala Dinas Sosial kota Kediri, mereka turun dari ?ambennya? berdiri, segera Sugeng segera memakai baju, ibu Kasiem membereskan ambennya, dan seorang temannya menyambut kehadiran kami. Tampak hangat sekali sapaan kedua suami istri ini dan ketika kami tanya ?apa kabar??, keduanya serentak menjawab ?baik-baik, akrab melihat walaupun kami hidup pas-pasan kami syukuri, rezeki dari Allah itu, kami tanya berapa penghasilan satu hari, sugeng menjawab ?rata-rata Rp. 15.000,- ?keluarga yang pandai bersyukur?. Istrinya cepat-cepat angkat mengambil dan menyodorkan sebuah bungkusan kertas yang sudah sangat kumuh dan robek-robek, setelah dibuka bungkusan ternyata ada 4 lembar foto, setelah melihat-lihat tampak foto kedua suami istri dengan keadaan berdandan dan bersolek bersama Gusdur (mantan Presiden R.I), Nurhudin (Penca) sopir angkot, Rieke Diah Pitaloka (Dosen Universitas Indonesia) alias ?oneng? bintang sinetron ?Bajai Bajuri? dan Bapak Jamu Bos jamu Tolak Angin Ramuan ?Kuku Bima? Sugeng sambil menunjuk gambar dirinya ?ini Gusdur pak? suami istri itu serentak tertawa, kami menimpali ?wah bintang sinetron? gelah tawa menambah cerianya pertemuan kami.
Kemudian Sugeng bercerita, pada Tahun 2007 ini kami baru pergi dari Yogyakarta shoting Kuku Bima tiga hari, kami disana pada photo ini kami melihat tulisan ?bantuan untuk rumah Rp. 30.000.000,- ?Dimana rumahnya Bu? saya belikan tanah dikampung saya, untuk masa tua?. Sudah dibangun rumahnya? Tanya kami, belum, engak cukup uangnya, jawabnya, kedua suami istri itu berasal dari di Kota Kediri. Pak Sugeng dari kampung dandangan, pak Sugeng, anak nomor ke 9 dari 10 orang bersaudara dan satu-satunya dia yang cacat, sedang bu Kasiem, anak nomor 2 dari 8 bersaudara. Adik perempuannya dan bapaknya penyandang cacat netra, mereka berasal dari keluarga besar, tapi mereka hanya punya anak satu, laki-laki sekarang duduk di kelas VI Sekolah Dasar, ?maunya anak saya sekolah terus sampai mahasiswa? sahut bu Kasiem, kenapa cuma satu anaknya bu? Tanya kami, satu saja operasi pak, tak berani lagi kami pak, takut!!!!
Sugeng sendiri tamatan SMP Taman Siswa di Kota Kediri dan Kasiem malah tidak pernah sekolah, ia belajar baca tulis diluar sekolah, sebelum menikah, pak Sugeng bekerja sebagai tukang tambal ban dan istrinya sebagai buruh cuci pada rumah tangga-rumah tangga dan jualan kue, keduanya masuk mengikuti pelatihan pada Lembaga Bina Kerja, Dinas Sosial Kediri, Sugeng mengikuti pelatihan reparasi sepeda motor dan Bu Kasiem mengikuti pelatihan jahit dan border, pertemuannya di BLK, mengantar kedua insan ini ke jenjang pernikahan setelah pelatihan berakhir, Dinas Sosial membantu tempat bekerja untuk keluarga ini, kemudian membantu usaha reparasi sepeda, tambal ban dan jual bensin eceran, istrinya membantu pekerjaan Sugeng. Kebetulan pada saat itu datang seorang pengendara sepeda motor yang minta menganti bannya (ban dalam), istri Sugeng, Kasiem langsung mendekati, mengambil alat-alat dan membuka roda sepeda motor, Sugengpun mendekat pula membantu Kasiem yang kesulitan membuka baut dan kembali mendekati kearah kami, Sugeng nyeletuk ?pembinaan cacat tida tepat? mungkin yang dimaksud pak Sugeng tiada pertautan antara pelatihan dengan kegiatan usaha yang diadakan sekarang.
Pamit dari keluarga pak Sugeng, kami menuju rumah keluarga Bambang, rumahnya tampak cukup besar berlantai dua, halaman depannya relatif luas menghadap kali brantas ditengah Kota Kediri. Di halamannya tampak sepeda motor roda tiga, mobilnya tidak ada, sedang dicat, dan diruang reparasinya tampak beberapa buah TV yang sedang diperbaikinya. Tiada lama kemudian muncul Bambang (42 tahun) yang cacat kakinya dan Haryati (45 tahun) istrinya tidak cacat, mereka menikah pada tahun 1988, sudah punya 3 orang anak, yang pertama laki-laki, sekolahnya sudah di SMA, yang kedua perempuan, sudah sekolah di SMP dan yang ketiga laki-laki masih SD, istri Bambang, Hariyati lulusan SMP, sebelum menikah bekerja di pabrik rokok Gudang Garam, sewaktu kerja di Gudang Garam, Hariyati kos di rumah nenek Bambang, pada rumah kos itu kedua insan itu kemudian menikah.
Bambang sendiri tidak pernah menikmati pendidikan formal, ia belajar dirumah (home school) di asuh bapaknya sendiri yang bekerja sebagai Kepala SD kemudian jadi pemilik SD. Pak Bambang bangga kepada ayahnya yang memperlakukan Pak Bambang seperti melakukan saudara-saudaranya, misalnya tidak melindungi, dan sebagainya. Bambang mengikuti kursus elektronik, setelah selesai kemudian ia magang pada sebuah servis elektronik. Pada tahun 1985 ia mengikuti pelatihan pada Lembaga Bina Karya, setalah selesai ia mendapat bantuan modal kerja dari UNDP sebesar Rp. 1.500.000,-. Dengan modal itu ia membuka reparasi alat-alat elektronik, terutama TV. Disamping itu ia diminta mengajar pada pelatihan-pelatihan elektronik, Usahanya dan kegiatannya bertambah maju sehingga ia dapat membangun rumah sebesar itu.
Masih dirumah Bambang, warta sosial bertemu pula dengan Pak Adib (cacat tubuh) yang pernah menjadi anggota Tim nasional Olympic game Indonesia ke International Olympic game di Pert Australia, ia berbaju kemeja bintik biru, bercelana jeans, bertopi. Waktu ditanya tentang kehidupannya, ia bercerita hidupnya baik-baik saja bersama keluarganya ?saya alih profesi pak, saya tidak reparasi arloji lagi, sekarang buka caf?? ujarnya, pantas pakaiannya ala coboy Amerika sambung Warta. Adib tertawa dan yang lain ikut tertawa. ?Reparasi arloji sekarang itu kurang laku, makannya saya ganti dagang minum dan jajan, asal keluarga bisa hidup? tambah Adib.
Waktu ditanya tentang organisasi PPCI, mereka menjawab, kami disini, di Kota Kediri, berhimpun pada paguyuban ?Gema Nusantara? anggotanya sudah ratusan. Kegiatannya terutama arisan bulanan. Pada arisan itu kami berkomunikasi, kami saling asah asih dan asuh pada paguyupan. (Oleh : Machdar Somadisastra)
Mudah-mudahan Dinas Sosial cepat tanggap pada forum mereka, AMIN.