BK3S || BK3S JATIM || BKKKS || BKKKS JATIM || SOSIAL
Berita

RASIONALITAS DAN KESADARAN

Prakata : Pengertian disiplin sangat luas dan tidak memiliki batas yang jelas. Dalam arti tertentu istilah disiplin dimaknakan sebagai ilmu. Dalam tulisan ini istilah disiplin dimaknakan sebagai sikap dan perilaku kepatuhan yang tinggi, yang sesuai dengan pranata-pranata yang berlaku, untuk melakukan suatu aktivitas dengan hasil akhir yang maksimal

RASIONALITAS DAN KESADARAN SEBAGAI SUMBER MEMBANGUN

DISIPLIN ANAK

PENGANTAR

Semestinya budaya otoriter yang represif tidak boleh terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia, karena bertentangan dengan konsep pndidikan demokratis yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Hendaknya warga masyarakat meyakini bahwa rasionalitas dan kesadaran dapat menjadi sumber untuk membangun disiplin dan karakter peserta didik lainnya.

Pengertian disiplin sangat luas dan tidak memiliki batas yang jelas. Dalam arti tertentu istilah disiplin dimaknakan sebagai ilmu. Dalam tulisan ini istilah disiplin dimaknakan sebagai sikap dan perilaku kepatuhan yang tinggi, yang sesuai dengan pranata-pranata yang berlaku, untuk melakukan suatu aktivitas dengan hasil akhir yang maksimal. Umpamanya untuk mencapai nilai akhir yang tinggi dibutuhkan sikap dan perilaku peserta didik yang dilengkapi dengan sikap dan perilaku disiplin yang tinggi.

Istilah disiplin memasuki berbagai lingkup kehidupan dan ranah-ranah yang ada seperti disiplin diri, disiplin keluarga, disiplin social, disiplin ilmiah, disiplin budaya, disiplin nasional, dan sebagainya. Disiplin dianggap sebagai suatu karakter dan jatidiri yang ideal untuk mencapai hasil aktivitas pendidikan dengan nilai yang tinggi.

Tulisan untuk membahas fenomena kekerasan dalam lembaga pendidikan IPDN di Subang, Jawa Barat, (April,2007), di mana dengan alasan membangun disiplin yang tinggi dan kesetian kepada alamater lalu dilakukan pendidikan dan pembinaan dengan tindakan kekerasan. Dampaknya beberapa mahasiswa menjadi korban, bahkan kematian. Mahasiswa atau mahasiswa telah ditendang dan dipukul dengan kekerasan dalam berbagai acara untuk membangun disiplin dan kesetiaan. Metode dengan ?hard learning process? tersebut tidak sesuai dengan budaya pendidikan modern, yang memandang peserta didik sebagai subyek, bukan sebagai obyek, apalagi mahasiswa dipandang setara dengan hewan.

Di Indonesia tindakan kekerasan dalam lingkup kampus pendidikan (dari TK/SD hingga PT) masih diwarnai dengan berbagai jenis tindakan otoriter dan represif. Tindakan kekerasan horizontal dan vertical terus terjadi sebagai bagian budaya pendidikan. Justru tindakan yang demikian dianggap layak, benar, dan syah adanya. Masyarakat dan bangsa Indonesia harus membangun filsafat pendikan baru, yang bebas dari segala bentuk tindakan kekerasan, dan yang membangun gagasan bahwa peserta didik adalah subyek yang bebas, bukan sebagai obyek.

Di masa lalu memang dijumpai berbagai acara kegiatan menerima siswa atau mahasiswa baru seperti melakukan Mapram, Masa Perkenalan, OSPEK, dan sebagainya, yang disertai dengan kegiatan-kegiatan irrasional dan emosional yang bermakna sebagai ?military values?, di mana kekerasan dianggap layak, syah dan benar untuk mengembangkan disiplin dan kesetiaan.

Lalu metode apakah yang digunakan untuk menegakkan disiplin dan kesetian kepada almamater? Seluruh kegiatan pendidikan apapun harus bebas dari tindakan kekerasan, baik fisik maupun psikologis. Demikian juga seluruh kegiatan pendidikan apapun tidak dapat menjadikan peserta didik sebagai ?obyek?, melainkan peserta didik dianggap sebagai ?subyek?.

KEKERASAN DALAM BELAJAR SEBAGAI KEKELIRUAN SEJARAH

Sementara para guru yang masih melakukan tindakan kekerasan untuk membangun disiplin para siswa dianggap benar dan syah. Pandangan masyarakat yang demikian masih ada hingga sekarang. Budaya agraris yang otoriter masih terus berlanjut. Terdapat kasus bahwa ada guru yang diajukan ke pengadilan di Mamuju, Sulawesi Barat (2007) di mana seorang guru ngotot menyatakan tindakan dirinya yang menampar muka murid itu dianggap benar dan syah, atas dasar pertimbangan membangun disiplin dan kesetiaan. Tampar menampar, pukul memukul, tending menendang, dan berbagai tindakan dengan kekerasan masih terjadi dalam lingkungan pendidikan di Indonesia. Maklum warisan kolonial yang memuja tindakan kekerasan belum habis. Pendidikan bangsa ini belum memasuki budaya demokratis sepenuhnya, dan belum memandang peserta didik sebagai subyek, dan proses belajar belum pada ?student centre?.

Kita harus mengembangkan filsafat pendidikan konstruktivisme, di mana filsafat ini memandang peserta didik sebagai subyek, dan bukan obyek; pendidikan harus mempergunakan ?soft learning method?, pendidikan harus dapat mengembangkan kompetensi kreativitas peserta didik, pendidikan dan proses belajar harus dapat menghasilkan keseimbangan antara hard-skill dengan soft-skill (terutama keseimbangan antara IQ, EQ dan SQ).

Membangun disiplin dan kepatuhan dengan tindakan kekerasan, atau dengan memakai metode ?reward and punishmenrt? memang cara yang paling mudah dan sangat efektif, namun maknanya tidak manusiawi dan bertentangan dengan kehidupan belajar yang demokratis, terbuka dan kreatif. Menyatakan metode tersebut sebagai hal yang benar dan syah, adalah suatu kesalahan sejarah, yang tidak perlu diulang.

Membangun disiplin belajar dan kepatuhan memang sangat penting, termasuk dalam lembaga pendidikan sipil, namun tidak melalui proses pembelajaran dengan tindakan kekerasan, melainkan dengan mengutamakan suatu proses ?rasionalitas dan kesadaran?. Guru dan dosen harus melakukan pendampingan yang kontinyu agar siswa dan mahasiswa dapat mengembangkan rasionalitas dan kesadaran akan pentingnya makna disiplin. Umpamanya peserta didik harus memiliki disiplin waktu dalam mengikuti kegiatan belajar di kelas. Peserta didik jangan sampai terlambat lebih dari 15 menit. Peserta didik harus berdisiplin dalam mengumpulkan tugas-tugas yang dibebankan oleh para pendidik, terutama bertalian dengan?reading report?.

Peserta didik harus memiliki rasionalitas dan kesadaran yang dalam mengapakah suatu tindakan dan perilaku diharapkan memiliki karakter atau kualitas disiplin, bukan dengan kekerasan atau tindakan irasionalitas lainnya. Manusia bukan robot, yang dapat dikendalikan secara elektronik. Manusia bukan hewan, yang dapat dikendalikan dengan kekerasan. Manusia adalah mahluk yang memiliki rasionalitas, kesadaran, dan kebebasan.

MEROMBAK TRADISI DAN MENGEMBANGKAN KEBEBASAN BERFIKIR.

Keyakinan beragama secara membabibuta memiliki dampak yang buruk, yaitu dampak yang sering disebut dalam dunia filsafat sebagai kematian akal. Pesrta didik harus meyakini dan memahami benar perbedaan kepercayaan dan kebebasan berfikir. Dalam keberagamaan, kita membutuhkan kepercayaan dan keyakinan adanya Tuhan YME, serta ajaran-ajarannya. Namun dalam dunia filsafat dan ilmu, dibutuhkan kemampuan berfikir yang bebas dan sebebasbebasnya.

Memang kalau kita tidak bijaksana, maka antara agama dengan filsafat akan tidak bisa rukun dan berdekatan, karena karakter dan dasar-dasar pengetahuannya berbeda, bahkan sangat kontradiksionis. Umpamanya agama menekankan asas kepercayaan, namun filsafat dan ilmu menekankan asas pembuktian (verifikasi). Dalam mengikuti kepercayaan tidak boleh ada kebebasan akal, namun dalam filsafat dan ilmu tidak boleh ada kepercayaan, dan harus mengembangkan kebebasan akal terutama untuk melakukan riset dan menyusun teori-teori baru.

Tradisi yang menyatakan bahwa anak yang baik adalah anak yang patuh kepada orang tua, sebaiknya tradisi tersebut ditinjau kembali. Benarkah anak yang baik itu anak yang patuh? Tidakkah anak yang baik itu anak yang kreatif dan yang mampu melakukan perlawanan terhadap tradisi?

Anggapan tentang tradisi pembentukan disiplin diri dan kesetian harus dengan kekerasan adalah dianggap benar dan syah, perlu ditinjau kembali. Morality set yang berbau otoriter dan yang melekat pada pikiran konservatif harus ditinjau dan dikoreksi kembali. Kini masyarakat dan bangsa Indonesia membutuhkan budaya kebebasan berfikir yang sangat luas, sebagai sumber kreativitas manusia dan temuan-temuan baru dalam kehidupan.

Kebebasan berfikir adalah sumber kempetensi manusia untuk mengembangkan dan menguasai IPTEKS. Tidakkah masyarakat dan bangsa Indonesia masih jauh tertinggal. Demikian juga kita mengubah nasib tidak dengan kepercayaan, melainkan dengan kebebasan berfikir untuk membangun kreativitas.

Kaum perempuan Indonesia jangan terjebak ke dalam berbagai mitologisasi yang irasional. Ini tak boleh, itu juga tidak boleh. Perempuan Indonesia harus mengembangkan kebebasan berfikir untuk mengejar dan membangun kebenaran dan kebaikan serta memperjuangkan hak-haknya. Namun kita jangan mengembangkan kebebasan berfikir untuk membangun ?secular rationality?, yang pada akhirnya akan mengabaikan eksistensi Tuhan YME

PENUTUP

Kita harus memposisikan kepercayaan secara proporsional, dan kita sangat membutuhkan suatu pengertian bahwa manusia mahluk yang memiliki kemampuan rasionalitas dan kesadaran. Kemampuan tersebut adalah sumber mengembangkan karakter, termasuk mengembangkan karakter disiplin, serta mengembangkan moralitas dan ahlak sebagai bagian integritas diri.

Membangun karakter dan jatidiri dengan metode kekerasan bukan jamannya lagi, karena peserta didik harus dinyatakan sebagai obyek, dan bukan subyek. Biarkan peserta didik berfikir bebas untuk menyadari atau sebaliknya untuk tidak menyadarinya.

Disiplin anak akan berkembang kalau peserta didik terlibat langsung secara intensif dalam proses belajar yang menggunakan cara ?problem based learning?, yang berbasis kepada rasionalitas dan kesadaran yang dalam. Semoga tulisan ini ada manfaatnya sebagai bahan wacana dan dialog.

Oleh : Nyoman Naya Sujana

Penulis adalah dosen yang memegang mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan di Unair.

Related posts

Senam dan Sinau Lansia

admin01

MENUJU KE ARAH PENDIDIKAN INKLUSIF

bk3s

Peringatan Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) 2017

admin01
buka chat
Butuh bantuan?
hi kakak
Ada yang bisa kami bantu?